Kata korupsi tak pernah redup dalam perbincangan keseharian kita dari tingkat masyarakat semata-mata hingga warga negara, individu dan kelompok, serta warung kopi hingga universitas. Fenomena tersebut tidak muncul dari kehampaan melainkan dari kesadaran materil akan efek dari korupsi yang secara spontan langsung dapat dirasakan, entah karena dorongan intuisi moral atau obervasi objektif penelitian. Selain menjadi perbincangan antar-kelas dan antar-tingkatan, konsen terhadap perilaku korupsi, jika ditelusuri secara historis, sudah ada sejak abad 300-an sebelum masehi, tepatnya ketika era filsuf Aristoteles kebangsaan Yunani.
Jika saat ini definisi korupsi merujuk pada suatu akibat atau output yang berdampak, pada masa sebelum masehi korupsi lebih ditekankan pada sebab. Analogi perbedaan perspektif korupsi sebagai sebab atau sebagai akibat adalah, jika korupsi dipandang sebagai sebab maka akan menuju pada suatu tindakan yang secara prediktif akan menimbulkan kesengsaraan, sedangkan sebagai akibat definisinya akan merujuk pada proses sekaligus akibat dari korupsi. Aristoteles dengan perspektif-sebabnya mencontohkan dekandensi moral sebagai perilaku korupsi.
Dekadensi moral bisa kita lihat pada realita sehari-hari sebagai apatisme terhadap lingkungan sekitar yang justru menjadi tempat tinggal dan hidup, contohnya tak mau memperhatikan rencana jangka-panjang dan hanya fokus pada kepentingan instan jangka pendek. Hal itu akan menyebabkan krisis sosial atas ketidak-mauan untuk saling minimal memahami satu sama lain. Sedangkan, perspektif akibat pada zaman sekarang, sesuatu disebut korupsi jika memiliki dampak riil terhambatnya peningkatan kualitas hidup serta timbulnya inkonsistensi birokrasi struktural. Namun, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mempermasalahkan kedua perspektif itu, tetapi untuk mengulik berbagai akibat korupsi pada konteks sistemik zaman sekarang di Indonesia terutama aibatnya pada lingkungan atas akibat mal-administrasi birokrasi.
Kebakaran Hutan Palangkaraya 2014
8 tahun silam di Palangkaraya, Riau terdapat kabut asap yang sangat tebal menyelimuti sebagian besar daerah tersebut. Pada Maret 2014, terdapat 137 titik api kebakaran di Hutan Riau. Titik-titik itu membara terus-menerus hingga tidak hanya menyebabkan polusi asap tapi juga meningkatkan suhu rata-rata. Menurut informasi BMKG, suhu tertinggi dari kebakaran hutan mencapai 33 derajat celcius. Sebanyak 49.591 jiwa menderita penyakit akibat kabut asap seperti ispa, pneumonia, asma, iritasi mata dan kulit. Meningkatnya suhu menandakan sudah parahnya kebakaran di hutan serta jarak pandang terbatasi asap hanya 300 meter. Sebanyak 137 titik itu tersebar di beberapa kabupaten, yaitu Bengkalis 65 titik, Indragiri Hilir enam titik, Meranti 33 titik, Pelalawan 11 titik, Dumai lima titik, dan Siak 17 titik. Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Kabut Asap hingga kini masih terus mengupayakan penanganan pemadaman. Adanya masalah jarak pandang membuat Satgas Udara tidak bisa melakukan hujan buatan dan water bombing atau bom air.
Sejauh ini pihak berwajib sudah menetapkan 40 tersangka dan satu korporasi atas nama PT NSP di Kabupaten Meranti yang dari pihak persero melakukan tindakan pembakaran secara sengaja. Namun pertanyaannya, apakah pelaku pembakaran melakukannya secara cuman-cuman tanpa ada interaksi imbalan terentu, mengingat bahwa hal itu dilarang oleh peraturan perundang-undangan serta jika melanggarnya akan di hukum? Tentu tidak. Tak ada seorangpun tanpa tujuan yang jelas--bahkan instan--yang secara tiba-tiba mencoba melakukan pelanggaran hukum. Perilaku pembakaran hutan bertujuan untuk membuka ladang baru. Dalam kasus kebakaran hutan di Riau ini, pembakaran untuk membuka ladang baru melanggar peraturan tentang fungsi hutan konservasi Riau. Namun setelah diselidiki, pembakaran tersebut sebetulnya berangkat dari pemberian izin berupa revisi alih fungsi hutan oleh Gubernur Riau, Annas Maamun. Annas mengeluarkan revisi itu bukan secara konsolidatif ilmiah, melainkan ia melakukannya karena menerima suap dari seorang pengusaha sawit Gulat Medali Emas Manurung yang kala itu merupakan Kepala asosiasi petani kelapa sawit cabang Riau. Sejumlah uang yang diterima dari Gulat dimaksudkan supaya annas menerbitkan kawasan hutan menjadi perkebunan sawit di kabupaten kuantan singingi seluas 1.188 hektar dan di kabupaten rokan hilir seluas 1.214 hektar. Jumlah yang sangat luas itu dibebaskan dengan dibakar, karena modal yang dikeluarkan dengan membakar dibandingkan dengan menggunakan proseudr amdal lebih murah. Maka, hasilnya adalah polusi asap yang sangat menganggu dan menurunkan kualitas udara serta menyebabkan penyakit.
Pencemaran Danau sembuluh oleh PT Binasawit Abadi Pratama
Dua anggota DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng), Borak Milton dan Punding Ladewiq dituntut 7 tahun penjara dan denda senilai Rp. 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Keduanya diyakini jaksa menerima suap yang diberikan oleh Managing Director PT Binasawit Abadi Pratama, Edy Saputra Suradja sebesar Rp. 240 juta. Kasus tersebut bermula ketika pada rapat paripurna DPRD Kalimantan tengah mendapat laporan adanya pemberitaan media massa mengenai 7 perusahaan sawit yang diduga tidak mengindahkan lingkungan dengan melakukan pencemaran di Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan tengah. Salah satu perusahaan tersebut yaitu PT Binasawit Abadi Pratama. Kemudian, karena adanya laporan yang menyangkut tanggungjawab, antara anggota DPRD dan pesuap membuat pertemuan.
Dari pertemuan itu, terjadilah kesepakatan perjanjian berupa pemberian uang. Pemberian uang pun dimulai saat Direktur Operasional Sinarmas Wilayah Kalimantan Tengah, Willy Agung Adipradhana dan Department Head Document and Lisense Perkebunan Sinar Mas Wilayah Kalimantan Tengah, Teguh Dudy Syamsuri Zaldy, mengadakan pertemuan dengan Komisi B DPRD.
Pemberian uang itu besarat akan adanya manipulasi masyarakat dengan kontrol media. Anggota DPRD berjanji akan mengkompromikan pemberitaan media massa terkait tindakan pencemaran oleh PT Binasawit Abadi Pratama untuk menulis yang tidak semestinya di lapangan, atau secara gamblang dapat dikatakan memaksa media untuk tidak menulis bahwa perseoran tersebut telah melakukan pencemaran dengan narasi-narasi yang tidak sesuai fakta. Selain itu, suap tersebut juga dimaksudkan agar untuk tidak menggelar Rapat Denga Pendapat (RDP). Anggota DPRD Kalteng itu diyakini jaksa melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP
Kesimpulan