Lihat ke Halaman Asli

Dari Perdebatan ke Kesepakatan, Bagaimana Pancasila Tumbuh sebagai Hasil Konsensus Sidang BPUPKI

Diperbarui: 28 Oktober 2024   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satriya Chandra Wijaya | Ekonomi Syariah

Perumusan dasar negara Indonesia tidak terlepas dari perdebatan panjang yang terjadi dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. 

Saat itu, Indonesia berada di ambang kemerdekaan, namun pertanyaan besar masih menggantung: Apa dasar negara yang cocok untuk bangsa yang sangat majemuk ini? Di sinilah Pancasila lahir, bukan sebagai hasil ide tunggal, tetapi sebagai buah kompromi politik dan konsensus berbagai kelompok yang berbeda pandangan (Mulder, 1996).

•Awal Perdebatan: Nasionalis vs. Religius

Sidang BPUPKI yang dimulai pada bulan Mei 1945 mempertemukan berbagai pemikiran dari tokoh-tokoh penting dalam sejarah Indonesia, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo, hingga Muhammad Yamin. Salah satu isu besar yang mendominasi sidang adalah bagaimana menentukan dasar negara yang bisa diterima oleh semua kelompok, baik yang sekuler maupun yang religius.

Kelompok nasionalis menginginkan dasar negara yang bersifat inklusif dan dapat merangkul seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang agama atau kepercayaan tertentu. 

Di sisi lain, kelompok religius, terutama dari kalangan Islam, menginginkan dasar negara yang mencerminkan nilai-nilai Islam, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim (Anwar, 2010). Perbedaan ini menimbulkan perdebatan sengit, terutama mengenai peran agama dalam negara.

•Piagam Jakarta: Kompromi Awal

Perdebatan tentang dasar negara mencapai puncaknya ketika Panitia Sembilan yang terdiri dari tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo dibentuk untuk mencari titik temu. Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menyusun dokumen yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, yang mencantumkan rumusan Pancasila versi awal. Dalam dokumen ini, sila pertama berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Namun, rumusan ini masih menyisakan masalah. Bagi kelompok non-Muslim, terutama dari wilayah timur Indonesia, sila pertama dianggap terlalu eksklusif dan bisa mengancam persatuan nasional (Azra, 2006). Ini menunjukkan betapa sulitnya mencapai konsensus yang benar-benar inklusif di tengah keberagaman Indonesia.

•Proklamasi dan Perubahan: Pancasila sebagai Konsensus Akhir

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline