Perumusan dasar negara Indonesia tidak terlepas dari perdebatan panjang yang terjadi dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945.
Saat itu, Indonesia berada di ambang kemerdekaan, namun pertanyaan besar masih menggantung: Apa dasar negara yang cocok untuk bangsa yang sangat majemuk ini? Di sinilah Pancasila lahir, bukan sebagai hasil ide tunggal, tetapi sebagai buah kompromi politik dan konsensus berbagai kelompok yang berbeda pandangan (Mulder, 1996).
•Awal Perdebatan: Nasionalis vs. Religius
Sidang BPUPKI yang dimulai pada bulan Mei 1945 mempertemukan berbagai pemikiran dari tokoh-tokoh penting dalam sejarah Indonesia, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo, hingga Muhammad Yamin. Salah satu isu besar yang mendominasi sidang adalah bagaimana menentukan dasar negara yang bisa diterima oleh semua kelompok, baik yang sekuler maupun yang religius.
Kelompok nasionalis menginginkan dasar negara yang bersifat inklusif dan dapat merangkul seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang agama atau kepercayaan tertentu.
Di sisi lain, kelompok religius, terutama dari kalangan Islam, menginginkan dasar negara yang mencerminkan nilai-nilai Islam, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim (Anwar, 2010). Perbedaan ini menimbulkan perdebatan sengit, terutama mengenai peran agama dalam negara.
•Piagam Jakarta: Kompromi Awal
Perdebatan tentang dasar negara mencapai puncaknya ketika Panitia Sembilan yang terdiri dari tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo dibentuk untuk mencari titik temu. Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menyusun dokumen yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, yang mencantumkan rumusan Pancasila versi awal. Dalam dokumen ini, sila pertama berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Namun, rumusan ini masih menyisakan masalah. Bagi kelompok non-Muslim, terutama dari wilayah timur Indonesia, sila pertama dianggap terlalu eksklusif dan bisa mengancam persatuan nasional (Azra, 2006). Ini menunjukkan betapa sulitnya mencapai konsensus yang benar-benar inklusif di tengah keberagaman Indonesia.
•Proklamasi dan Perubahan: Pancasila sebagai Konsensus Akhir