Lihat ke Halaman Asli

Guru PKn: Antara Ahok dan Pendidikan Politik Pilkada

Diperbarui: 20 Desember 2016   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Antara Pilkada dan pendidikan memang secara sekilas tampak tak berhubungan. Tapi mesti diingat bahwa Pilkada yang berkualitas akan terkontruksi, jika dalam masyarakatnya sukses membangun pendidikan politik demokrasi yang mencerahkan sekaligus mencerdaskan. Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang bertanggungjawab memberikan pendidikan politik demokrasi yang mencerahkan itu? Jawaban normatifnya adalah tentu tugasnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan media. Tapi agaknya peran media saat ini sudah melampaui peranan partai politik, disebabkan media (media sosial) memiliki ketakterbatasan akses untuk dinikmati masyarakat, apalagi bagi warga Jakarta.

Jika melepaskan fungsi pendidikan politik demokrasi hanya kepada media sosial atau media massa secara umum, bagi saya ini sungguh akan menciderai makna pendidikan itu sendiri. Sebagaimana Ki Hadjar Dewantara (1889 – 1959) katakan, “pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.

Utopis rasanya jika ingin memajukan budi pekerti umat manusia, jika diserahkan kepada media sosial yang tak berbatas itu. Maka disinilah fungsi klasik pendidikan persekolahan, yang masih dianggap penting. Saya ingin mengatakan jika pendidikan (politik demokrasi) akan lebih terarah, terencana dan melibatkan orang dewasa secara rasional dan terlembaga jika melalui sekolah. 

Seperti dikatakan John Dewey (1859-1952), “pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin  terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup”.

Sementara itu pendidikan politik menurut Rusadi Kartaprawira (1977) adalah upaya untuk meningkatkan pengetahun politik rakyat, dan akhirnya rakyat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik tersebut. Bagi Mansour Fakih (1999), pendidikan politik adalah setiap usaha untuk melahirkan kesadaran kritis bagi penghormatan atas hak asasi manusia. Baginya pendidikan politik yang kritis dan demokratis akan menciptakan sistem politik yang demokratis pula.

Dalam konteks inilah korelasi antara Pilkada DKI Jakarta sebagai sebuah aktivitas politik praktis, dengan pendidikan politik demokrasi yang dilakukan oleh lembaga persekolahan. Bagi saya secara spesifik dan substantif, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan/PKn/PPKn (civic education) berperan sebagai media pendidikan politik demokrasi di lembaga persekolahan. Secara teroretik PKn berfungsi untuk memberikan pendidikan politik-demokrasi bagi warga negara. Seperti yang dikatakan Nu’man Soemantri (2001), Sapriya (2007) bahwa salah satu fungsi PKn adalah sebagai pendidikan politik. Atau bagi Udin S. Winataputra (2001), fungsi PKn sebagai pendidikan demokrasi.

Pendidikan politik demokrasi dalam PKn bertujuan agar terbentuknya civic disposition (watak/karatkter kewarganegaraan) seutuhnya. Karakter kewarganegaraan merupakan muara dari civic skills (keterampilan kewarganegaraan) yang di dalamnya berisikan keterampilan intelektual (intellectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills), dan civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan). Setidaknya inilah 3 komponen utama civic education menurut Margaret S. Branson (1994).

Jika dikaitkan dengan fenomena Pilkada di DKI Jakarta, maka guru mata pelajaran PKn/PPKn, yang paling punya landasan epistemologis dan relevan untuk melakukan misi pendidikan politik demokrasi. Level satuan pendidikan yang juga pas sebagai sasaran adalah di tingkat SMA/SMK/MA. Jadi sebagai mata pelajaran yang melakukan pendidikan politik demokrasi, keberadaan guru PKn/PPKn di kelas sangat penting, karena akan mampu memengaruhi persepsi siswa terhadap suatu objek politik (bisa Pemilu, Pilkada, tokoh politik atau peristiwa politik lainnya). 

Walaupun persepsi yang dibangun itu bisa bernuansa positif atau negatif. Di sinilah dibutuhkan profesionalitas seorang guru PKn/PPKn, agar tak terjebak pada pemihakan yang berujung indoktrinasi, yang nyata-nyata tak akan membangun watak kewarganegaraan seutuhnya.

Persoalannya kemudian adalah, politik Pilkada DKI Jakarta yang turbulensinya sedang meninggi ini dicoba dibawa-bawa ke ranah pendidikan oleh guru (PKn/PPKn). Tepatnya, gurupun melibatkan diri memengaruhi siswa sebagai pemilih pemula untuk membangun persepsi para pemilih muda ini. Perlu diingat data dari KPUD, jumlah pemilih pemula pada Pilkada DKI 2017 adalah 10,07% yaitu mencapai angka 718.571 orang. Ini merupakan angka yang besar dan potensial. Apalagi dalam politik Pilkada, satu suara adalah sangat berarti.

Bagaimana cara guru memengaruhi persepsi pemilih pemula yang nota bene adalah siswa didiknya? Setidaknya bisa melalui 2 cara pembangunan persepsi. Pertama, membangun persepsi positif terhadap Agus-Sylviana, Basuki-Djarot atau Anies-Sandi (tentu denga posisi lebih condong pada salah satunya/sesuai preferensi politik guru tersebut). Memberikan pujian, menampilkan keunggulan-keunggulan personal, prestasi, track records, kinerja selama menjadi tokoh politik bahkan dari sisi keturunan. Hal ini dalam pendekatan positif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline