Judul tulisan saya di atas terinspirasi dari pengalaman nyata beberapa waktu lalu. Peristiwa inspiratif tersebut bermula ketika saya menjadi pembicara pelatihan kepemimpinan siswa di sebuah sekolah swasta ternama di Jakarta. Tidak ada yang aneh dan di luar kelaziman di saat saya sedang memberikan materi “Teknik Persidangan”, kepada para calon pengurus OSIS dan Majelis Perwakilan Kelas (MPK) yang berjumlah sekitar 170 siswa. Para siswa sangat antusias menerima materi, karena teknik persidangan tersebut menjadi materi dasar (basic) dalam sebuah latihan kepemimpinan siswa.
Meniru para kakak mahasiswa di universitas, di level SMA pun pendidikan politik dan demokrasi sudah berwujud dalam mekanisme pemilihan ketua umum OSIS secara demokratis (Pemilu), mekanisme pelantikan, rapat kerja sampai pada mekanisme laporan pertanggungjawaban ketua umum OSIS di depan Sidang MPK. Semua dilegitimasi melalui mekanisme persidangan laiknya Senat mahasiswa atau anggota DPR. Model persidangan itulah yang diberikan kepada para siswa SMA ini. Klimaks antusiasme siswa ditutup dengan “simulasi sidang”, dengan model sebuah persidangan organisasi resmi. Wajah mereka senang, kritis dan atraktif untuk berdebat di forum dan adrenalinnya muncul ketika harus memegang palu untuk memimpin persidangan.
Cerita tak berhenti dalam simulasi sidang tersebut. Setelah acara ditutup saya kemudian menepi duduk sambil makan siang yang sudah disiapkan panitia pelaksana. Saya memilih di kursi panjang, sendiri sambil menyenderkan tas yang berisi laptop. Di tengah menikmati santap siang dengan lahap (karena lupa sarapan pagi, terburu-buru menuju tempat acara), muncul seorang siswa berseragam mendekati saya. Perawakannya tinggi, ramping dan mengenakan jas organisasi sekolah, lengkap dengan ragam atribut yang menarik. Mungkin atribut itu adalah ciri khas di sekolah beken ini, khusunya bagi para aktivis organisasi sekolah.
Anak muda itu lantas duduk di samping saya, sambil bertanya kabar. Tentu saya jawab kabar baik dan sebaliknya sayapun bertanya kabar pada dia, pun sama jawabnya. Kemudian dia berkomentar tentang materi sidang tadi, bahwa dia senang dengan materi dari saya, apalagi ada video tentang persidangan anggota DPR yang ricuh di awal pemerintahan Jokowi (Kasus Ceu Popong sebagai pemimpin sidang sementara). Memalukan katanya.
Sambil mengunyah lauk yang lumayan enak di siang terik itu, pemuda berkacamata ini lantas bertanya, “Bapak mengajar PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) ya Pak? Berarti ngerti politik dan hukum ya?” Saya jawab,”Oh iyaa saya guru PKn, insya Allah paham dek!” Kenapa kamu bertanya itu pada saya?" Jawabnya, “Iya Pak soalnya kalau saya lihat di negeri ini hukum dan politik semua bisa dibeli, politik itu jahat ya Pak? Hukum juga tergantung siapa yang punya uang banyak. Dan saya muak sebenarnya melihat berita akhir-akhir ini!”
Kalimat demi kalimat yang keluar dari seorang anak kelas XI SMA ini menjadi pintu masuk bagi saya untuk mengetahui bagaimana persepsi anak muda tentang realita politik, dalam rangka pendidikan politik yang cerdas dan bijak tentunya, yang menjadi tugas saya sebagai seorang guru. Kemuakan generasi peralihan Y ke Z ini tentu beralasan dan esensial sekali bagi saya. Benar apa yang dia sampaikan, bahwa hukum saat ini bisa dibeli, bersifat ekonomis transaksional dan politik tak ubahnya sebuah persekutuan jahat untuk sekedar memperoleh jabatan untuk kelompok dan golongan. Jauh dari petuah Aristoteles ketika menulis tentang politik yang substansinya adalah bonum publicum.
Bagi saya kategorisasi level kesadaran manusia dalam teorinya Paule Freire bisa disematkan kepada pemuda ini. Bahwasanya dia telah sampai pada level “kesadaran kritis” melampaui kesadaran magis dan kesadaran naif seperti ujaran Sang Bapak Pedagogi Kritis. Mendengar uraian singkatnya perihal politik dan hukum saya berdecak kagum juga. Mungkin seperti inilah wajah anak-anak muda zaman sekarang, yang menghiasi ramainya status mereka di Facebook, kicauan di twitter yang berujung trending topics atau komentar dalam gambar di Instagram dan Path. Ya, merekalah generasi gawai yang sangat terbuka, atraktif dan genarasi yang tak bisa “ditali lubang hidungnya”. Begitulah gambaran imajinatif saya memaknai seorang siswa tadi.
“Bagus, kamu paham politik juga ya dek, (tiba-tiba saya bertanya) kalo begitu gimana kira-kira menurut kamu Pilkada DKI sekarang?” Tanpa dijawab dan tanpa diduga-duga justru dia yang bertanya balik ke saya, seolah-olah ingin bilang, “Bapak harus jawab pertanyaan misterius saya ini!” Pertanyaan misterius itu adalah, “Pak, Bapak tau ga saya ini anak siapa?” dalam hati saya bergumam, kenapa dia yang bertanya dia anak siapa, apakah penting pertanyaan itu, atau memang orangtuanya adalah orang penting di negara ini? Sambil berpikir jawabannya dan sedikit bergumam di dalam hati, saya terus memandangi wajahnya. Kira-kira wajahnya mirip tokoh atau artis siapa ya...? Jujur saya menyerah, “Saya ga tau dek kamu anak siapa, sukar rasanya saya tebak.”
Lantas dia sendiri menjawab ringan, “Pak, saya anaknya MS (nama ayahandanya sengaja saya buat inisial untuk kepentingan menjaga perasaan anak tersebut), yang sekarang sedang ramai dibicarakan di TV, bapak saya berurusan dengan KPK Pak saat ini.” Sambil bergetar bibirnya mengucapkan kalimat kejujuran ini. Demi Tuhan, saya sangat kaget mendengar kejujuran, keberanian dan kepolosan anak muda ini. Sebelum dia berkata-kata lebih panjang saya bertanya, “Kenapa kamu jujur cerita ke saya bahwa kamu adalah anak kandungnya MS yang ditetapkan tersangka oleh KPK saat ini, apa tujuan kamu, kamu ga malu dan kenapa ke saya ceritanya padahal kita baru kenal dan bukan siapa-siapa kamu?” Berondongan pertanyaan rasa penasaran ini langsung saya tanyakan, hati kecilpun terus bergumam, kenapa? Dan jawaban anak baik ini seperti berikut, “Karena Bapak mengerti hukum dan politik dan karena saya yakin Bapak bisa memberikan nasihat untuk saya!”
Sebagai seorang guru saya masih ingat sebuah ayat dalam Kitab Al-Quran yang kurang lebih maknanya, “Janganlah kalian berlaku tidak adil kepada suatu kaum dikarenakan kalian tidak suka terhadap mereka!” Saya berusaha tetap bijak kepada anak ini. Saya hargai kejujuran dan keberaniannya. Perbuatan ayahnya yang kita musuhi, bukan orangnya. Seperti yang Sutan Sjahrir pernah katakan dulu bahwa, “Bukan Belanda yang saya benci, tetapi kolonialisme dan imperialismenya-lah yang menjadi musuh saya.” Begitulah wajah humanisme universal yang patut kita renungkan dari seorang Bung Kecil.
Walaupun ayahandanya ditetapkan tersangka korupsi oleh KPK tapi toh itu adalah perbuatan ayahnya, dan dalam hukum formal di republik inipun berlaku asas persumption of innocent. Kalimat tersebut keluar juga dari mulutnya dengan jujur dan berani, “Pak, walaupun ayah saya tersangka, tapi kan dia tetap ayah saya, walaupun orang ramai ngomongin dia dan dihukum oleh opini masyarakat dan media, toh statusnya masih tersangka, belum diputuskan oleh hakim!” Begitu ucapannya dengan nada kesal dan resisten. Tapi saya sangat maklumi karena bagaimanapun si anak tetaplah anak, yang punya hati dan sayang kepada ayahnya, betapapun ayahnya telah “dihukum” oleh opini di masyarakat.