Lihat ke Halaman Asli

Senyum UN dalam Sekotak Nasi Padang

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kisah-kasih di Sekolah

Hari ini Ujian Nasional bagi seluruh siswa SMA/SMK/MA dan sederajat mulai dilaksanakan. Secara keseluruhan, jumlah siswa SMA/MA serta paket C di Indonesia yang mengikuti UN pada 2014 sebanyak 1.644.713.  Sedangkan jumlah pelajar SMK peserta UN sebanyak 1.184.987. Nasib sekitar 2,8 juta siswa nasional ini akan ditentukan dalam waktu tiga hari ke depan. Format kelulusan siswa tahun ini diseting sedemikian rupa yakni penjumlahan pembobotan 60% nilai hasil UN ditambah 40% nilai sekolah (nilai sekolah adalah pembobotan 30 % nilai Ujian Sekolah ditambah 70 % nilai rata-rata rapor). Memang yang bekerja adalah mesin-mesin hitung atau program excel secara mekanik, namun tetap saja waktu tiga tahun belajar di sekolah memiliki ceritanya tersendiri.

Dalam waktu tiga tahun itu ada narasi suka; dapat nilai besar, menjadi siswa teladan, dikenal guru, menjadi siswa/i idola, kisah “nembak” calon pacar yang langsung diterima sampai kepada suasana “prom nite” yang sangat romantik. Dukanya; sering terlambat datang sekolah, dimarahi guru, dapat sanksi membersihkan toilet sekolah, terpeleset di tangga sekolah karena asik memandang adik kelas yang cantik, berantem dengan teman lain kelas karena merebutkan cewek yang sama, sampai pada pemberian skorsing tidak boleh masuk 5 hari karena ketahuan merokok di dalam toilet oleh wakasek bidang kesiswaan. Begitulah suka-duka siswa/i kita selama tiga tahun. Serasa hilang begitu saja dengan datangnya UN. Mimpi-mimpi indah semasa di sekolah hanyut terbawa oleh momok UN yang datang dan sudah menunggu lama (ya serasa sudah menunggu lama karena guru/pemerintah sudah mengumumkan hampir setahun yang lalu). UN terdistorsi menjadi momentum “penghakiman”. Maka taklah mengherankan UN datang, kuburan keramat jadi ramai, bocoran UN dicari untuk dibeli, pelbagai strategi “nyontek” disiapkan sampai pada strategi spiritual yakni sholat dhuha dan tahajud yang semakin sering (padahal bulan-bulan sebelumnya jangankan dhuha dan tahajud, sholat wajibpun tak pernah dilakukan). Memang lucu bagi yang menganggap UN adalah sebuah parodi tahunan. Laiknya Pemilu yang baru seminggu lalu dilaksanakan.

Pendidikan yang Memanusiakan Manusia

Tapi realita yang seakan suram dan menjadi hantu itu adalah bagi mereka yang menganggap UN momok menakutkan. Makanya acara yang ditunggu-tunggu bagi mereka yang haus motivasi seperti Mario Teguh Golden Ways sampai-sampai menayangkan program khusus persiapan UN; “UN: I’m not afraid” demikian kata Mario Teguh, menjadi mantra sakti atau “metode rukyah” yang ampuh untuk mengeluarkan dan mengeluarkan “jin-jin UN” dari dalam diri siswa. Cara tersebut dirasa cukup efektif. Bahkan beberapa sekolah seperti SMA De Britto di Yogyakarta memberikan hipnotis massal kepada seluruh siswa kelas XII, yang berisi motivasi dan menumbuhkan semnagat juang bagi seluruh siswa (http://regional.kompas.com/read/2014/04/08/1426393/Jelang.UN.250.Siswa.SMU.De.Britto.Dihipnotis). Tentu perlakuan rasional serupa di atas yakni mendapatkan motivasi, belajar sungguh-sungguh, berdoa/istighosah dan minta restu kedua orangtua & guru adalah pilihan yang tepat dan cerdas bagi kaum terdidik (well educated). Bukan sebaliknya memilih tindakan irasional dan fatal.

Suasana kebatinan para guru sebenarnya juga harap-harap cemas. Apalagi bagi mereka yang menjadi wali kelas di kelas XII. Jika ada siswa di kelasnya yang sampai tak lulus UN, apa mau dikata, tak bisa berkata-kata, bercampur semua, sedih, kesal, malu dan tentunya merasa berdosa. Vonisnya adalah; gagal menjadi guru dan wali kelas. Suasana demikian taklah hiperbola alias lebay. Inilah realita dunia persekolahan kita (bukan dunia pendidikan). Karena UN sudah terlanjur menjadi ritual wajib tahunan negara tercinta Indonesia. Karena pendidikan direduksi sekedar urusan persekolahan belaka (mengutip Winarno Surakhmad). UN sudah terlanjur direduksi menjadi sekedar harga diri; para guru, kepala sekolah, kepala dinas sampai tingkat menteri. Walaupun kabar gembiranya adalah Jokowi sebagai gubernur DKI tidak menargetkan peringkat UN di DKI, tetapi berorientasi pada kualitas kejujuran siswa. Dengan kata lain biarpun peringkat DKI rendah dalam kelulusan UN siswa, tetapi kalau dilakukan dengan kejujuran inilah “pendidikan yang memanusiakan manusia” seperti yang dikatakan oleh Romo Driyarkara. Harapannya tentu DKI (termasuk sekolah kami) memperoleh peringkat tertinggi secara nasional dengan kualitas kejujuran, sebagaimana petuah para pedagog idealis seperti Winarno Surakhmad, HAR Tilaar dan Conny Semiawan.

Senyum UN dalam Sekotak Nasi Padang

Namun di sisi lain, jika suasana menakutkan dan menegangkan menghadapi UN ini menjadi pemberitaan nasional, ada satu hal menarik bahkan membuat kita tersenyum. Pagi ini kami para guru di Jakarta menjadi pengawas UN di sekolah yang masuk rayon kami. Praktisnya adalah pengawas silang. Pagi sekitar jam 6.30 para guru pengawas sudah datang di sekolah tempatnya bertugas. Perjumpaan pagi ini dijadikan ajang silaturahim bagi para guru, karena memang mereka sama-sama bertugas di rayon yang sama. UN memang menjadi wahana bagi para guru-guru untuk bertemu, bersilaturahim dan bercerita tentang “profesinya”, misalkan berbagi kisah terkait uang tunjangan, uang sertifikasi yang beberapa bulan tak kunjung cair, cerita nostalgia dulu di masa kuliah, obrolan ringan tentang kepala sekolah SMA yang baru dipilih dari proses “lelang” yang oleh guru-guru DKI lazim disebut sebagai “kepala sekolah lelang”, sampai kepada rencana membeli rumah/mobil (karena rapelan uang sertifikasi dan bonus lainnya dari pemerintah cukup besar di Jakarta). Semuanya dicurahkan dalam ajang silaturahim UN. Tentu obrolan itu mesti dilakukan di sela-sela istirahat (walaupun masih banyak guru yang menjadikan bahan obrolan di atas ketika masih waktu mengawas siswa di kelas).

Senyuman para guru semakin sumringah, di saat selesai mengawas tepat pada pukul 12.30 WIB. Masing-masing sekolah sudah menyediakan makan siang yang terbungkus rapi dalam sebuah kota bermerek. Saya dan beberapa teman lainnya yang mengawas di tempat berbeda mengamati kotak nasi tersebut. Merekanya sangat beragam; Rumah Makan Sederhana, Rumah Makan Pagi Sore, Rumah Makan Kapau Asli, Rumah Makan Ampera, Rumah Makan Simpang Raya dan sebagainya. Ya itulah berbagai nama rumah makan Padang di Jakarta. Mereknya sangat beragam, namun rasa dan nuansanya tetap sama. Penyelenggaraan UN mulai dari pagi hari tentu banyak menghilangkan energi panitia dan guru pengawas (pastinya siswa kita). Butuh asupan yang berkalori tinggi dan relatif bisa dinikmati oleh berbagai lidah orang Indonesia.

Sekotak nasi Padang sebagai hidangan santap siang. Ternyata berbagai sekolah menyediakan makan siang dengan menu nasi Padang hari pertama mengawas UN ini. Inilah yang membuat kami cukup tersenyum di kala pulang dari mengawas UN hari ini. Mungkin pihak panitia UN SMA mengasumsikan jika masakan Padang menawarkan rasa yang sama bagi semua lidah orang Indonesia (para guru pengawas tentunya). Yakni tersimpulkan dalam dua kata saja “lamak bana” (sangat enak, bahasa Minang). Semoga cerita nilai UN dan kualitas kejujuran peserta UN DKI Jakarta tahun ini pun tergambarkan dalam dua kata yang serupa di atas yaitu “rancak bana” (sangat bagus, bahasa Minang). Maka guru dan siswapun sama-sama tersenyum. Tersenyum karena sekotak nasi Padang dan tersenyum karena lulus UN dengan kejujuran. Amiiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline