Lihat ke Halaman Asli

Anak Berkebutuhan Khusus: Siapakah Mereka dalam Masyarakat?

Diperbarui: 6 September 2017   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masih terniang kuat dalam benak kita kisah perundungan (bullying) Muhammad Farhan, mahasiswa salah satu universitas swasta ternama di Kota Depok, oleh teman-temannya sendiri di kampus. Apa yang membuat kisah ini menjadi spesial? Memang perundungan bukanlah termasuk tindakan yang dapat diterima, namun ketika perundungan disasarkan pada anak berkebutuhan khusus (ABK), tindakan tersebut sungguhlah merupakan perbuatan yang biadab bagi nalar orang yang beradab.

Muhammad Farhan adalah mahasiswa Ilmu Komputer dan Ilmu Komunikasi yang mengalami hendaya berkomunikasi karena diduga memiliki autisme. Dikatakan bahwa ia sudah menerima perundungan dari teman-temannya selama setahun ke belakang. Tidak hanya cacian verbal, Farhan mengatakan bahwa ia juga pernah menerima perundungan dalam bentuk lain, seperti disembunyikan tasnya dan ditutupkan pintu kelas ketika ia hendak pulang.

Apakah ABK yang menerima perlakuan tidak mengenakkan seperti ini hanya Farhan seorang? Miris, jawabannya adalah tidak! Tiga tahun lalu, seorang ABK bernama SAH usia 14 tahun yang berasal dari Bandung ditemukan dengan kondisi tubuh penuh dengan lebam, luka bakar pada kedua telapak kaki, dan luka pada kemaluannya. SAH diduga mengalami penyiksaan di asrama sekolahnya di Jakarta oleh oknum pengajar. Tidak hanya di Indonesia, kasus perundungan terhadap ABK juga ditemukan di negara lain.

Sweetwater Union High School District di California, Amerika Serikat dilaporkan oleh mantan staf pengajarnya ke pengadilan atas kasus kekerasan yang dialamatkan kepada peserta program siswa berkebutuhan khusus. Menurut Miranda Escoto, pelapor kasus ini, staf pengajar sekolah tersebut sering mendorong, menendang, dan memukuli siswa-siswa dengan kebutuhan khusus. Tuturnya staf pengajar sering memanggil siswa--siswa tersebut dengan sebutan yang tidak mengenakkan, seperti "Jauhkan anak ini dari saya karena ia buruk rupa!". Ia menambahkan bahwasanya ia melihat perlakuan staf pengajar terhadap anak-anak itu tidak lebih elok dari perlakuan seseorang terhadap binatang.

Menurut sebuah systematic review, anak-anak yang memiliki disabilitas secara umum memiliki kecenderungan empat kali lebih besar dibanding anak normal untuk menerima kekerasan. Sementara menurut studi lain, yang menilai perundungan terhadap anak dengan autisme, menemukan bahwa 46% remaja dengan autisme menerima perundungan setidaknya sekali dalam sebulan, sementara 27% dari mereka bahkan menerima perundungan lebih dari sekali dalam seminggu.

Menyimak kisah-kisah menyayat hati di atas, sebuah pertanyaan muncul, bagaimana sebenarnya kita memosisikan ABK dalam kehidupan sosial kita? Siapakah mereka dalam masyarakat?

Akar dari permasalahan ini sejatinya adalah ketidakpahaman masyarakat terhadap keterbatasan yang dimiliki ABK. Di lingkungan sekolah, ABK seringkali dianggap sebagai anak bodoh yang tidak mau memahami pesan yang disampaikan orang lain. Hal ini memicu guru, staf, maupun siswa lain untuk melakukan perundungan verbal dan fisik. ABK juga dianggap sebagai anak yang lebih lemah dibanding anak lainnya, sehingga ABK juga menjadi sasaran pelaku pelecehan seksual.

Hal yang lebih bobrok lagi biasa terjadi di kehidupan bermasyarakat. Stigma yang tumbuh di tengah masyarakat, bahwasanya ABK merupakan beban atau ancaman bagi orang lain akibat perilaku dan ketidakmandirian mereka, mudah menyebar begitu cepat. Pengucilan masyarakat terhadap ABK juga sering terjadi. Teman-teman sebaya mereka sering menolak untuk menjadikan mereka teman. Orang-orang dewasa beberapa kali malah memandang jijik atau takut terhadap kehadiran ABK.

Bahkan pada daerah-daerah dengan tingkat edukasi yang rendah, ABK seringkali distigmatisasi sebagai orang yang kerasukan setan sehingga berbuah menjadi perilaku masyarakat yang tidak sesuai, seperti pemasungan atau pengusiran roh halus. Yang lebih disayangkan lagi, perlakuan yang salah terhadap ABK biasanya dianggap sepele sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

Kondisi seperti ini tentu saja tidak dapat terus dibiarkan. Seluruh komponen masyarakat harus turut serta memperbaiki perilaku terhadap ABK. Keluarga yang berisikan ABK harus mampu menerima segala keterbatasan yang dimiliki ABK dan memberikan dukungan penuh untuk perkembangannya. Orang tua juga hendaknya tidak pernah berhenti untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang ABK sehingga dapat memberikan pengasuhan yang tepat.

Sekolah juga harus mengenal dan memberikan pemahaman mengenai keterbatasan yang dimiliki ABK kepada seluruh warga sekolah. Segala bentuk perundungan terhadap ABK di lingkungan sepatutnya ditindak tegas. Layanan pengaduan terhadap perundungan sebaiknya dikuatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline