Aku bukanlah orang yang suka matematika. Bahkan, aku bisa dibilang sangat tidak bisa paham rumus matematika. Aku lebih suka isu sosial dan budaya. Itu juga adalah alasan aku memilih untuk mendalami Sastra Inggris di kuliah, selain karena aku memang suka membaca. Aku juga bukan orang yang menyukai olahraga. Jadi, saat ada tayangan pertandingan olahraga di televisi, ketika orang-orang tegang dan berteriak kesenangan atau kecewa, aku tidak bisa memahaminya.
Tetapi, itu semua berubah saat aku mengenal program Clash of Champions. Program yang mirip dengan Univeristy War dari Korea Selatan ini mempertemukan puluhan mahasiswa asal Indonesia yang berprestasi dan mempertandingkan mereka untuk mengerjakan soal-soal dalam bentuk numerik, spasial, dan logika. Aku, yang pada saat program ini pertama tayang adalah seorang mahasiswa di bidang Sosial Humaniora, tidak tertarik pada program ini. Anggapanku saat itu adalah "Hmm, satu lagi acara yang menunjukkan bahwa saintek lebih dihargai di Indonesia."
Tapi, ternyata aku salah. Ada juga mahasiswa bidang sosial humaniora yang bertanding di program ini. Aku baru menonton program ini saat Maxwell, salah satu peserta, viral di platform tiktok karena siaran langsungnya yang lucu. Aku baru mulai menonton di episode 7. Awalnya, aku hanya menonton untuk melihat para peserta yang aktif di platform tiktok seperti Yesaya, Nabil, Kevin, Maxwell, Sandy, Axel, Chris, Kadit, Kenji dan Kith (kebanyakan ya?). Aku yang saat pertama kali menonton sudah bisa merasakan ketegangan dan menghela nafas lega maupun berteriak kecewa mulai maraton menonton tayangan ini dari episode 1.
Aku semakin diyakinkan bahwa Clash of Champions adalah sebuah ajang apresiasi bagi para mahasiswa berprestasi. Lewat tayangan ini, aku juga makin menyadari bahwa setiap manusia memiliki kelebihannya masing-masing. Dalam tayangan ini, mereka bekerja sama untuk bisa memecahkan soal dan memenangkan ronde. Contoh yang paling terkenal adalah saat para peserta sengaja menjawab salah dengan "1+1=0" agar soal yang diberikan bisa dilempar ke rekan satu tim dan bisa dijawab dengan benar. Sejak saat itu, aku selalu mengikuti program ini dan tidak pernah ketinggalan. Bahkan, saat tulisan ini ditulis, aku sedang menonton Final Chapter Event dari Clash of Champion.
Program ini benar-benar menemukanku di saat yang tepat. Saat itu, semakin mendekati waktu wisuda, aku makin sering meragukan diriku sendiri. Aku juga meragukan apakah jurusan dan gelar yang aku miliki bisa membantuku membangun karir. Juga, akan jadi apa aku di masa depan nanti. Tetapi, mereka semua, yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda, berhasil membuktikan padaku bahwa yang berhasil sukses bukanlah orang yang pintar, melainkan orang-orang yang rajin.
Dari situ, aku makin mengulik para peserta dan aku memutuskan untuk mendukung beberapa orang dari program tersebut. Bukan berarti yang aku sebut lebih kurang dibanding yang aku sebut, tapi aku merasa orang-orang yang akan aku sebut ini relate dengan aku. Entah itu dari selera humor mereka, selera musik, bahkan juga prinsip hidup mereka. Siaran langsung mereka di platform tiktok seringkali menyelamatkan aku dari rasa stres yang menghampiri. Berkat program ini dan para pesertanya, tiap hari aku jadi memiliki sesuatu yang menyenangkan untuk aku nanti. Entah itu adalah episode baru (yang dimulai saat tulisan ini ditulis sudah tidak akan ada lagi), update dari para pesertanya baik dari saluran WA ataupun instagram, juga siaran langsung mereka yang seringkali bisa membangun mood. Aku sangat berharap program seperti ini bisa akan ada lagi di Indonesia. (Setelah selesai menulis tulisan ini, baru saja diumumkan kalau program ini akan kembali dengan musim ke duanya! Semakin tidak sabar menunggu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H