Lihat ke Halaman Asli

Satrio Tegar Sadewo

Percacita.com

Charity Vs Social Entrepreneurship Vs Social Business

Diperbarui: 13 Juni 2016   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Sejak terjadinya revolusi industri, dunia berkembang begitu cepat. Untuk mencapai kemajuan seperti ini, suatu peradaban terdahulu membutuhkan waktu berabad-abad lamanya. Penemuan teknologi yang membuat semua ini berkembang begitu cepat. Berkembangnya teknologi membuat berkembangnya bisnis dan industri semakin berkembang pesat pula.

Ironi, bisnis dan industri yang berkembang saat ini sering lupa akan tanggungjawabnya akan 2 dari 3P, People and Planet (dan Profit). Mereka terlalu sibuk memikirkan bagaimana mendapatkan profit saja. Pengalihan fungsi hutan, reklamasi pantai, polusi udara, pencemaran lingkungan, dan sebagainya siapa lagi penyebabnya kalau bukan mereka. Bisnis-bisnis yang seharusnya memecahkan masalah manusia atau customer, justru membuat masalah baru.

Ada teori yang menyebutkan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan keadaan lingkungan seperti sebuah neraca yang sulit sekali seimbang. Artinya ketika pertumbuhan ekonomi naik, maka keadaan lingkungan akan turun, dan sebaliknya. Ada sebuah data yang menunjukan bahwa terdapat 1% populasi penduduk dunia mempunyai kekayaan yang setara dengan 99% penduduk populasi dunia. Ini terjadi karena bisnis-bisnis konvensional saat ini menyerap keuntungan dari bawah ke atas, sehingga diatas yang berjumlah  1% menjadi semakin besar (own everything) dan sisanya 99% yang dibawah menjadi semakin kosong (own nothing). Inilah yang menyebabkan masalah sosial seperti kriminalitas, kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Fenomena ini disebut Selfish Driven Business.

Bukankah para pendiri bisnis-bisnis itu dahulunya adalah pemuda yang mempunyai visi merubah nasib, membuka lapangan kerja, bahkan “make the world as better place”. Sebagian orang melakukan bakti sosial (charity) sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama dan/atau lingkungan. Mereka yang mengambil inisiatif saat kondisi atau yang dilihatnya tidak berjalan semestinya dapat disebut sebagai “Entrepreneur”. Makna entrepreneur sekarang meluas, tidak hanya mereka yang berjualan barang atau menawarkan jasa tetapi juga bagi mereka yang mudah tergerak pikiran, hati, dan tindakannya.

Terdapat dua kutub dalam konteks ini. Kutub pertama adalah profit making, dan kutub kedua adalahcharity. Ditengah kutub ini ada istilah social business, yang mana terdapat dimensi yang disebut social entrepreneurship yang menuju kearah charity, dan terdapat dimensi yang disebut conventional business yang menuju kearah profit making.

Istilah social business dan social entrepreneurship memang mempunyai kesamaan, tapi juga mempunyai perbedaan. Secara sederhana social entrepreneurship artinya memcahkan masalah sosial dengan pendekatan entrepreneurship. Maksud dari pendekatan entrepreneurship adalah suatu proses dengan tahap empathy the problems - design & test the solution - and execute to the market,yang diikuti sikap inisiatif di setiap tahap.

Dokumen Pribadi

Sedangkan Social Business dapat diasosiasikan dengan non-deviden company. Artinya ini merupakan suatu entitas bisnis yang tidak bertujuan menghasilkan keuntungan berupa materi (uang/deviden), tapi menghasilkan social impact. Entitas ini juga mengenakan tariff atau harga untuk jasa atau barang yang mereka sediakan. Jika kegiatan charity berbentuk memberikan sesuatu atau membantu sesuatu tanpa mengharap sesuatu yang kembali, maka social business mengenakan tariff atau harga hanya untuk menutup biaya. Inilah yang disebut Selfless driven business.

Dokumen Pribadi

Sekarang kita berada masa yang dapat dibilang “The Golden Age of Social Entrepreneurship”. Ada dua fenomena yang mendukung ini. Di Amerika Serikat, sebuah artikel menceritakan tentang betapa bangganya anak-anak muda yang telah melakukan kontribusi sosial, daripada mereka yang menghabiskan malam-malamnya dengan pesta yang gemerlap. Lalu sebuah data menunjukan 20% orang Inggris yang membuat perusahaan baru menginginkan perusahaan mereka mempunyai dampak sosial dan angka ini terus meningkat dari tahun sebelum-sebelumnya. Social Entrepreneurship telah menjadi “the massive movement” di seluruh dunia.

Mendapatkan uang dengan jerih payah sendiri memang suatu kebahagian, tapi membuat orang lain bahagia adalah kebahagian super. Social entrepreneurship akan memberikan kebahagian super!”     dikutip dari Mohammad Yunus, CEO Yunus Center – Grameen Bank (Nobel Prize Awardee)

Kesimpulan dari bahasan saya ini adalah jika Anda melakukan Charity berarti Anda mempunyai sikap Social Entrepreneurship, tetapi Anda tidak mempunyai Social Business. Jika Anda mempunyai Social Business, Anda tidak sekedar charity dan mempunyai sikap social entrepreneurship tapi Anda telah memperbaiki kehidupan sosial secara berkelanjutan.

Artikel ini diinspirasi dari : Muhammad Yunus pada kesempatan Massive Online Open Course - Global Entrepreneurship Summer School

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline