Sudah berbulan-bulan lalu sejak saya membaca tulisan Teguh Wicaksono mengenai keresahannya tentang pergeseran pandangan mengenai output sebuah karya musik di era ini. Entah kenapa rasanya setiap argumen yang ia lontarkan terasa sangat masuk akal. Meskipun jujur saya nggak terlalu suka Hindia -- contoh musisi yang dijadikan konteks tulisannya -- secara karya dan campaign-nya. Satu poin yang masih melekat erat di benak saya adalah poin pembahasannya perihal adanya tendensi di mana musisi sudah salah kaprah mengenai tujuan akhir pelabuhan karyanya. Alih-alih mengejar kualitas dan kepuasan berkarya, beberapa musisi malah lebih tunduk kepada deadline penyetoran 'konten' di aset digitalnya demi menunggangi momen. Menyedihkan bukan?
Menuju paruh akhir tahun 2020 ini, rasanya fenomena "konten adalah kunci kesuksesan" masih terasa signifikan di berbagai campaign para musisi. Ironisnya, hal tersebut nggak cuma kejadian di ranah musisi berskala nasional, tapi juga di band-band yang sedang merintis karirnya bahkan di ranah underground. Yep, kamu nggak salah baca. Underground. Kasarnya mah, belum punya pangsa pendengar yang stabil tapi udah banyak gaya mau bikin 'konten' sementara kualitas lagu dan penampilan dinomor sekian-kan. Go on, hate me for telling the truth.
Sebagai seorang yang percaya bahwa musik itu beranjak dari pengutamaan kualitas karya dan citra musisi di nomor sekian-kan, sangat menyedihkan bagi saya untuk menghadapi realita ini. Dan sialnya hal itu harus saya telaah setiap hari, karena saya bekerja di media musik ini. Ini konteksnya. Ketika banyak band yang mengirimkan lagu-lagunya ke surat elektronik saya dengan harapan agar bisa diulas oleh redaksi di sini, kami pun otomatis harus mengecek semua aspek yang berkenaan dengan band yang mengirimkan submission tersebut. Nggak sedikit jumlah band yang memang punya karya yang bagus dan didukung dengan strategi 'ngonten' mereka yang masuk akal dan nggak maksa. Tapi ada juga band-band yang karyanya masih bisa dikembangkan lebih baik lagi tapi di aset digitalnya malah lebih sibuk bikin konten digital yang nggak relevan dengan musik yang mereka mainkan. Ini sebenernya mau main musik atau mau jadi selebgram kosmetik sih?
Sebelum kamu kembali menghujat saya lewat akun alter sosmedmu, saya harus mengingatkan sesuatu. Bermusik itu karya utamanya musik. Sementara hal-hal pelengkap seperti visual dan citra itu sebagai suplemen agar musiknya (karya utamanya) bisa terasa lebih sempurna. Just saying. Oke, gini deh. 'Ngonten' itu nggak ada salahnya sih. Toh itu strategi yang memang (atau mungkin?) ditujukan agar khalayak ramai bisa 'diarahkan' untuk mendengarkan karya dari sang musisi. Tapi plis, ini yang membuat saya muak. Kenapa nggak fokus dulu bikin karya yang bagus, benerin cara main musiknya, cari panggung (pas sebelum pandemi), dan baru bikin 'konten' buat kendaraan promosinya? Bukan ngejadiin konten sebagai komoditas utama di band-nya.
Kualitas musik itu tetep yang utama, friend. Karena sekali lagi, peran musisi itu sahihnya buat bikin musik yang jujur sesuai nuraninya, bukan demi pengakuan publik atau jumlah likes yang menimbulkan efek viral. Kalau bermusik buat tujuannya viral tanpa memerhatikan kualitas karyanya, mending nggak usah main musik sekalian kalau kata saya mah. Mending jadi product reviewer atau podcaster sekalian yang ngebahas touchy topic.
Saya tidak anti terhadap perubahan, toh look at the bright side, mungkin pergeseran tendensi ini kelak akan menghasilkan ide-ide baru yang tetap akan mempertahankan esensi musiknya sendiri. Namun nggak ada salahnya kalau aspek kualitas musik pun masih diperhatikan. Create music the you want to, not what the people want to. Saya pun jadi teringat obrolan saya bersama Yotam Ben Horin (vokalis dan bassist band punk rock asal Israel, Useless ID) mengenai tren musik sekarang. Dimana banyak orang lebih memilih untuk bermain musik atau memperlakukan musik bak sesuatu yang trendy dengan dalih untuk menjadi terkenal dan mendapatkan perhatian lebih dari banyak orang. Celotehan Yotam menimpali obrolan saya itu tidak akan pernah saya lupakan. Dia cuma bilang, "kalau kamu mau ngejar terkenal atau viral, mungkin udah saatnya kamu berhenti main musik". Masuk akal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H