Di tengah situasi pandemi COVID-19 ini tersiar kabar mengenai kondisi keamanan yang menjadi rawan. Beberapa benar namun tak sedikit yang sekedar HOAX untuk meresahkan masyarakat yang sudah resah.
Menanggapi situasi kerawanan tersebut atas himbauan Pemerintah, Kapolri lewat Surat Telegram ST/1336/IV/OPS.2/2020 maupun inisiatif sendiri warga kemudian mengaktifkan kembali budaya Siskamling yang di beberapa tempat sudah lama pudar. Propinsi Jawa Tengah misalnya belum lama ini meluncurkan gerakan "Jogo Tonggo" (menjaga tetangga) yang salah satunya adalah dengan melakukan Siskamling.
Sungguh disayangkan bahwa inisiatif ini tidak dibarengi kesadaran bahwa saat ini kondisinya adalah masa pandemi COVID-19, bahkan pihak yang memberi himbauan untuk mengaktifkan Siskamling pun sangat minim mengingatkan pentingnya melakukan penyesuaian terkait kondisi pandemi.
Akibatnya kebiasaan ngumpul di Poskamling atau rumah salah satu warga yang umumnya dilakukan saat ronda dalam kondisi normal masih tetap dilakukan. Tak cukup sekedar ngobrol tanpa menerapkan physical distancing namun bahkan makan dan ngopi bersama pula.
Padahal kalau kebiasaan ini terus dilakukan salah-salah kegiatan Siskamling malah berpotensi menjadi wadah penularan virus. Sementara di satu pihak selalu ditekankan pentingnya memutus mata rantai penularan di sisi lain ada kegiatan yang nyata-nyata berpotensi besar sebagai tempat penularan.
Berangkat dari keprihatian tersebut di tengah keleluasaan waktu selama work from home saya mencoba mengutak-atik pemikiran terhadap model Siskamling yang disesuaikan dengan kondisi pandemi saat ini.
Ada dua skenario yang terpikir; skenario pertama warga berjaga di halaman rumah masing-masing. Sedangkan skenario kedua tetap dilakukan ronda keliling namun menerapkan pola tertentu untuk memninimalisir kontak jarak dekat.
Dalam dua skenario tersebut sama-sama tidak dilakukan aktivitas berkumpul bersama baik di Pos Kamling maupun rumah salah satu warga.
Opsi skenario Siskamling yang ditawarkan dengan menerapkan physical distancing adalah sebagai berikut:
SKENARIO 1:
- Setiap warga bertanggung jawab mengawasi keadaaan dan keamanan di sekitar rumah masing-masing tanpa keluar dari rumah dengan dibekali kenthongan.
- Pada jam-jam tertentu yang disepakati secara berurutan (sesuai pola yang disepakati) warga secara bergiliran memukul kenthongan dari rumah masing-masing.
- Dalam hal terdapat kondisi yang tidak wajar/mencurigakan pola pukulan kenthongan diubah sesuai kesepakatan.
- Selama pelaksanaan Siskamling tetap ada 2 penanggung jawab di setiap ruas jalan yang berjaga dari rumah masing-masing.
- Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada point (4) melakukan pemeriksaan di lapangan jika terjadi perilaku/situasi tidak wajar/mencurigakan dengan tetap memperhatikan physical distancing dan mengenakan masker.
- Koordinasi dan komunikasi selain memanfaatkan kenthongan juga didukung media lain (ponsel).
Kelebihan Skenario 1:
- Warga tetap berada di dalam rumah masing-masing namun nyata bahwa aktivitas pengawasan berlangsung.
- Pelaksana Siskamling tidak merasa jenuh meski dalam berjaga meski tidak secara langsung bertemu satu sama lain.
- Dalam kondisi normal (tidak ada hal mencurigakan yang perlu diperiksa di lapangan) warga tidak perlu melakukan proses bersih diri (mandi, keramas) serta disinfeksi pakaian dan semua barang yang dikenakan seusai Siskamling.