Saya punya seorang kerabat dekat yang menikah pada usia 50 tahun lebih. Sekarang, Ia sudah jadi suami selama empat tahun dan ia kini terlihat lebih bahagia. Dulu kerabat saya ini dicemooh banyak orang, tak terkecuali keluarganya sendiri. Kalau muda-mudi sekarang sudah risih ditanyai "Kapan Nikah", bagaimana rasanya mendengar "ayo buruan nikah", atau "kamu sudah bujang lapuk masih belum mau nikah?" , atau " kamu tuh niat nikah ga sih? sini ibu cariin" ?
Menikah, bagi sebagian orang adalah hal yang sangat penting. Tapi begitu ditanya mengapa menikah penting? orang-orang ini bingung memilih sebuah jawaban yang singkat, namun mencakup seluruh aspek yang melingkupi pernikahan. Sebut saja aspek sosial, budaya, dan bahkan agama. Jadi, mengapa [pernikahan begitu penting, dan apa sih tujuan pernikahan sebenarnya?
Sebut saja rekan saya ini Rinus. Rinus, merasa lega setengah mati setelah ia berhasil menyelesaikan ijab kabul pada percobaan yang ke tiga kali. Air mukanya seperti mahasiswa tahap akhir yang akhirnya lulus setelah melalui berbagai revisi. Saya turut senang. Akhirnya petualang cinta yang sudah lama mencari hati sebagai tambatan menemukan jodohnya.
Rinus pasti bingung mendengarkan bentuk-bentuk keluhan lain yang ia dengar dari sanak terdekat. "Ko nikahin janda?", "emang gabisa lu cari yang gadis?", "ini istri lu bikin lu jauh dari keluarga". Serba salah jadi seorang Rinus.
Pernikahan Rinus, bukan hanya urusan Rinus dan istrinya. Ini sudah jadi hajat keluarga. Seakan kalau pernikahan itu sebuah karung, maka benda di dalamnya diurutkan mulai dari yang paling berat ada Ego, Gengsi, Malu, dan Takut. Keluarganya lega karena akhirnya Rinus menikah dan tidak lagi jadi bahan gunjing tetangga, karena sudah lama gengsi mereka diinjak-injak, karena malu Rinus dipanggil om oleh anak tetangga yang lahir dua puluh tahun setelahnya, tapi kini sudah berkeluarga.
Barangkali, karena pernikahan ini didasari ego, gengsi, malu, dan takut lah kemudian pikiran-pikiran sejenis menetas di benak keluarga Rinus mengenai rumah tangganya. Hal buruk namun kecil dengan mudah ditunjuk, sedang hal baik dari istrinya tak pernah diakui.
Memang betul istrinya seorang janda anak satu, tapi apa salahnya dengan status itu? Perempuan ini sudah punya rumah sendiri, punya usaha sendiri, dan kini bersama Rinus mereka tinggal berdua karena sang anak mesantren di luar kota. Pekerjaan Rinus yang seorang buruh lepas tak jadi soal baginya, berapapun penghasilan Rinus ia terima.
Memang betul Rinus seringkali menghabiskan akhir pekan di rumah keluarga istrinya. Bahkan, tidak berlebihan bila kita bilang bahwa Rinus lebih nyaman main gaple bersama keponakan istrinya daripada datang ke rumah dan diceweti kakak-kakaknya. Tentu, Rinus tak pernah lupa pada ibunya. Sebulan satu kali ia rutin pulang ke rumah orang tua, sungkem, dan memohon doa. Namun itu tak cukup sebab keluarganya berharap ia datang setiap minggu, seperti ia semasa bujang dulu.
Tentu saja, Pernikahan tetaplah sebuah pernikahan apapun motifnya. Boleh saja motifnya politis, tapi pastikan bahwa yang menikah juga selaras. Kalau yang menikah seorang lelaki dimabuk cinta dan ingin sebuah pernikahan yang sakral dengan tamu sedikit dan tanpa organ tunggal (singkatnya romantis), maka tak mungkin bagi keluarga memaksakan kehendak menggelar resepsi hingar bingar seperti sirkus hanya untuk pamer pada tetangga.
Pada Akhirnya, Pernikahan Rinus jadi seperti produk reject yang gagal memenuhi ekspektasi keluarga. Topik terbaru yang jadi bahan gunjingan adalah momongan. Berulang kali keluarga mereka melemparkan pertanyaan ini, terutama ketika Rinus datang bersama istrinya. Rinus tersenyum, sedang istrinya tercekat. Mungkin, dalam hati sang istri berpikir "jangan-jangan mereka lupa kalau aku sudah 40 tahun"