Lihat ke Halaman Asli

Fikih Kesetaraan ala Ali Asghar Engineer

Diperbarui: 2 Mei 2024   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Bukan hanya dikenal sebagai akademisi dan aktivis, Asghar juga dikenal sebagai ulama yang sering berkhotbah dengan lantang melawan para penindas. Pada awalnya ia memikirkan tentang esensi dari agama islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh penduduk bumi, tetapi dengan kenyataan yang ada marak sekali tindak ketidakadilan dan dikriminasi dalam dunia Islam. Ia berpikir bahwa "jika Islam sebagai agama rahmat, tidaklah mungkin (Islam) menganjurkan dan melakukan tindak kekerasan, ketidakadilan dan diskriminasi". Setidaknya, batin Asghar tersebut membuat gelisah yang tak berkesudahan yang nantinya akan memproduksi pemikiran-pemikiran baru yang kontra dengan kenyataan tersebut.

Fiqh sebagai yurisprudensi Islam muncul atas pemikiran para fuqaha. Artinya, dikemukakan melalui pergumulan pemikiran secara mendalam dengan berbagai pertimbangan. Maka, fiqh bukanlah barang yang universal dan mutlak.

Dalam kaitannya dengan perempuan, fiqh yang banyak kita terima selama ini menyisakan banyak sekali kecenderungan-kecenderungan yang dianggap bias gender. Poligami, kesaksian, warisan, menjadi barang alot yang hingga hari ini masih diperdebatkan oleh para pemikir.

Asghar menaruh perhatian khusus pada persoalan tersebut. Untuk mengurai persoalan di atas ia menawarkan metode baru yakni, mengkategorikan ulang ayat-ayat yang menjadi fondasi suatu persoalan. Dalam kategorisasinya, Asghar membagi menjadi 2 yakni, ayat kontekstual dan ayat normatif.

Yang pertama merupakan ayat yang turun karena suatu persoalan, karena munculnya anomali pada konteks zaman tersebut. Ayat kontekstul turun sebagai respon atas persoalan-persoalan tertentu pada masa itu. Singkatnya, ayat tersebut menjelaskan apa yang sedang terjadi dan apa yang terbaik untuk terjadi saat itu juga (das sein). Sedangkan yang kedua merupakan ayat yang turun memuat keterangan yang seharusnya terjadi dan berlaku secara universal (das sollen). Aspek normatif lebih condong pada kesucian dan prinsip umum seperti keadilan.

Perihal Kesaksian

Dalam persoalan kesaksian, menurut beberapa ulama Syafi`iyah, Malikiyah, dan Hanabilah menolak peran perempuan sebagai saksi (Sabiq, 1983:111). Dengan dasar al-Baqarah ayat 282, Imam Syafi`I pun menyatakan bahwa perempuan boleh dijadikan saksi namun tetap disertai dengan laki-laki, persoalannya pun dibatasi pada masalah perbendaan.

Pada persoalan saksi akad nikah, terdapat pula yang membolehkan perempuan menjadi saksi nikah, seperti as-Sarkhasi yang menganggap persoalan nikah, talak, li`an bukan termasuk perkara yang syubhat. Juga, Sufyan as-Sauri pun membolehkan perempuan sebagai saksi, kecuali pada perkara hudud. Para ulama Hanafiyah pun senada dengan dua ulama tersebut. Namun, persaksian tersebut harus memenuhi kualifikasi yakni, dua perempuan dan seorang laki-laki.

Berbeda dengan Asghar yang membaca persoalan tersebut melalui konsep yang ditawarkannya. Dalam konteks al-Baqarah ayat 282, Asghar menganggap ayat tersebut merupakan ayat kontekstual. Menurut Asghar, kala itu perempuan belum memiliki pengalaman berniaga ketimbang laki-laki, sehingga diperlukan dua perempuan dan seorang laki-laki supaya terhindar dari kesalahan yang tidak diinginkan.

Lanjut Asghar menegaskan bahwa pada prinsipnya seorang perempuan berhak menjadi saksi, seorang perempuan lainnya hanya sebagai pengingat saja (Asghar, 2000:98). Mengingat perempuan sekarang sudah tidak sedikit yang terjun dalam dunia bisnis. Maka, dengan bekal pengetahuan dan pengalamannya, perempuan sekarang telah memenuhi syarat sebagai saksi.

Persoalan Poligami

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline