Lihat ke Halaman Asli

Satrio Adjie Wibowo

Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sungguhkah Menjadi Sahabat Pengadilan?

Diperbarui: 19 April 2024   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perbincangan yang hangat diutarakan kini adalah seputar pengajuan diri berbagai tokoh nasional menjadi "sahabat pengadilan" atau dalam termin hukumnya disebut Amicus Curiae berawal dari Megawati diikuti oleh Din Syamsuddin hingga Rizieq Shihab. Diksi tersebut mengacu pada sebuah tindakan akomodasi dari pihak ketiga diluar dari pihak yang mengalami perkara dalam hal ini sengketa hasil pemilihan Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi. Ramainya diskursus wacana tersebut menjadi kejadian unik sepanjang sejarah sengketa pemilu di  Indonesia karena ini pertama kalinya banyak pihak yang antusias menawarkan diri menjadi Amicus Curiae. 

Tentu sebagai masyarakat awam saya mengapresiasi langkah yang ditempuh para tokoh bangsa tersebut untuk mengadvokasi persoalan sengketa pemilu tersebut. Kita perlu mendapat sebuah pembelajaran mengenai apa-apa yang semestinya dijalankan oleh segenap elemen bangsa dalam memperjuangkan suatu tataran dan citra norma ideal atas kehidupan berpolitik yang bermartabat dan juga memenuhi aspek keadilan. Mungkin, bila kita tengok sepanjang perhelatan Pemilu 2024 narasi yang digemakan oleh para tokoh nasional masih belum terasa berdengung sepenuhnya, kini lewat jalur "sahabat pengadilan" tiba saatnya untuk masyarakat menyaksikan bagaimana seharusnya merajut tenun kebangsaan yang prima dari para tokoh nasional ini. 

Meski demikian, penulis melihat inti dari ramainya pengajuan diri menjadi Amicus Curiae semata-mata sebagai penyaluran hasrat bertestimoni yang sifatnya tendensius menuju suatu sisi politik tertentu yang dalam hal ini masing-masing untuk membela kepentingan pasangan kubu calon Presiden baik dari 01 maupun 03. Jujur, penulis pesimis apabila terjadi sebuah potret pengadilan pendengaran keterangan saksi yang kelak mengajarkan sebuah pembelajaran esensial mengenai politik bangsa Indonesia. Masing-masing pihak hendak berdalil membela kepentingannya untuk "menggoalkan" kepentingan mereka tanpa adanya usaha konstruktif dalam mengajarkan pendidikan politik kebangsaan yang riil dan absolut kepada seluruh elemen rakyat Indonesia. 

Maka dari itu, kita tinggal menunggu apakah hakim konstitusi tetap mengizinkan mereka untuk bersaksi dan kesaksian tersebut kelak menjadi suatu landasan informasi bagi kerangka berpikir kita sebagai bangsa yang bermartabat atau justru sama saja sebagai perpanjangan lidah dari ekspresi kekecewaan basis pendukung calon Presiden yang masih tidak dapat menerima kekalahan mereka dalam kontestasi. Harapan penulis adalah ini tidak sekedar akrobatik politik semata dengan menggunakan instrumen hukum melainkan benar-benar mengeluarkan hikmah kebijaksanaan yang konstruktif bagi usaha mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline