Lihat ke Halaman Asli

Masalah Kependudukan di Indonesia sebagai Negara Berkembang

Diperbarui: 4 April 2017   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia



Negara Indonesia dikategorikan sebagai negara berkembang oleh The World Bank. Hal tersebut dikarenakan Indonesia memiliki berbagai masalah yang lebih banyak ketimbang negara-negara maju, salah satunya adalah masalah kependudukan. Di dalamnya terdapat enam masalah kompleks antara lain:


  1. laju pertumbuhan dan jumlah penduduk relatif tinggi;
  2. persebaran penduduk tidak merata;
  3. tingginya angka beban tanggungan;
  4. kualitas penduduk relatif rendah, sehingga mengakibatkan tingkat produktivitas penduduk rendah;
  5. angka kemiskinan dan pengangguran relatif tinggi; serta
  6. rendahnya pendapatan perkapita.

Permasalahan kependudukan yang akan kita bahas adalah mengenai laju pertumbuhan penduduk serta jumlah penduduk. Di Indonesia, pertambahan jumlah penduduk selama 25 (dua puluh lima) tahun mendatang terus meningkat. Menurut hasil proyeksi yang dilakukan oleh Data Statistik Indonesia (kerja sama antara Badan Pusat Statistik (BPS), The Australian National University (ANU), dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI), yang didukung oleh Australian Overseas Aid Program (AusAID) menyatakan bahwa, pada tahun 2025 jumlah penduduk meningkat menjadi 273,2 juta jiwa yang sebelumnya pada tahun 2000 berjumlah 205,1 juta jiwa.

Dari data angka di atas dapat kita lihat bahwa pertambahan jumlah penduduk tidak bisa kita kelola dan direncanakan dengan baik. Data lain juga menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 berjumlah 2.5 juta jiwa lebih banyak dari perkiraan para ahli. Selain itu, tingkat angka kelahiran tidak ada tanda-tanda penurunan yang signifikan.

Dengan persoalan peningkatan jumlah penduduk ini Pemerintah Indonesia sejak tahun 1970-an membuat program Keluarga Berencana (KB) yang bertujuan untuk membuat keluarga yang harmonis dengan membatasi jumlah anak. Dengan adanya pembatasan jumlah anak ini, pemerintah berharap kedepannya jumlah penduduk di Indonesia dapat berkurang. Namun harapan itu sulit tercapai. Pasalnya jumlah penduduk sebelum tahun 1970 sudah terlampau banyak. Dengan adanya pembatasan yang diberlakukan beberapa tahun sebelumnya, hal itu sama saja dengan menstabilkan jumlah penduduk, bukan mengurangi. Ditambah lagi, jumlah kematian per tahunnya juga mengalami penurunan.

Keputusan waktu diberlakukannya program KB sendiri dinilai terlambat mengingat jumlah penduduk yang sudah ada, seperti pernyataan di paragraf sebelumnya. Namun, program tersebut juga dinilai berhasil dalam mengurangi jumlah penduduk. Dengan dibatasinya jumlah anak yang diawali pada tahun 1980, maka jumlah penduduk beberapa dekade kedepan juga ikut menurun, meskipun persentase penurunan tidaklah lebih dari angka satu persen.

Peningkatan jumlah penduduk tersebut merupakan kesalahan masyarakat Indonesia sendiri. Pepatah Jawa mengatakatan, “banyak anak, banyak rejeki”. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Indonesia meningkatkan jumlah kelahirannya. Selain itu, penyebab lain adalah mengenai pengertian masyarakat terhadap keluarga harmonis yang minim dipahami. Bisa dilihat masyarakat di pedesaan memiliki jumlah anak lebih dari tiga (jumlah maksimum keluarga harmonis), sedangkan masyarakat di perkotaan memiliki anak berjumlah dua, bahkan hanya satu. Jika memang program KB merupakan jalan keluar dalam pembatasan kelahiran, maka seharusnya pemerintah harus serius dalam hal pelaksanaan. Banyak penyelewengan-penyelewengan terjadi hampir di setiap daerah. Sebut saja di Kabupaten Lamongan yang melaporkan bahwa jumlah pil KB yang dimiliki selalu kurang. Setelah diselidiki, ternyata pil-pil tersebut digunakan oleh petani-petani tambak sebagai pakan ikan lele. Selain itu, ketidakjelasan program KB di desa membuat masyarakat desa enggan untuk melakukan program tersebut.

Jumlah penduduk yang tinggi juga memiliki problem yang lain, yakni masalah kehidupan yang layak. Dengan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan luas daerah layak huni menyebabkan syarat memiliki rumah yang ideal sulit tercapai. Ukuran luas rumah yang ideal adalah minimal berukuran luas lantai 36 meter persegi (UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 22 Ayat 3). Sedangkan kenyataannya saat ini, ada satu keluarga yang hanya memiliki luas rumah 3 meter x 5 meter. Bahkan letak rumah satu dengan yang lain saling berhimpitan yang membuat sirkulasi udara menjadi tidak teratur. Sanitasi tiap rumahpun bisa dikatakan tidak layak. Rumah yang saling berhimpitan satu sama lain disebabkan karena masyarakat yang tinggal di area tersebut merupakan masyarakat pendatang yang ingin bekerja di daerah yang mereka tempati sekarang. Dengan kata lain, urbanisasi. Tingkat kejadian urbanisasi di Pulau Jawa lebih tinggi ketimbang di pulau-pulau lain di Indonesia. Bahkan ada daerah yang sangat minim tetangga. Jika persebaran masyarakat tidak diawasi dan dikendalikan, maka pulau lain atau daerah lain, akan kekurangan manusia untuk tinggal di sana. Roda kegiatan ekonimi di daerah-daerah yang sepi juga akan mempengaruhi stabilitas ekonomi negara. Bisa-bisa harga suatu barang di Pulau Jawa lebih murah ketimbang di Pulau Kalimantan. Ketimpangan keseimbangan harga bisa kita lihat saat ini. Kita ambil contoh berupa harga Koran. Harga Koran di Pulau Jawa lebih murah Rp 500,00 sampai Rp 1.000,00 ketimbang di luar Pulau Jawa. Padahal bila produsen koran bisa membuat pabrik percetakan di luar Pulau Jawa, harga yang diberikan juga tidak akan terlampau jauh dari Pulau Jawa. Namun bila hanya percetakan saja yang dikembangkan sedangkan sektor basis tidak, maka sama saja produsen koran membuang uang. Setidaknya pemerintah bisa mengatasi, bahkan menyelesaikan masalah keseimbanganpengelolaan dan pengolahan sumber daya yang ada di seluruh sisi Indonesia.

Jumlah penduduk yang juga tidak selalu memberikan dampak negatif. Jumlah penduduk yang banyak bisa dikatakan sebagai sumber tenaga kerja juga ikut banyak. Inilah yang membuat investor-investor dari negara lain banyak menanamkan modal dan membuat industri di Indonesia karena ketersediaan tenaga kerja yang melimpah dengan harga yang dibilang cukup murah ketimbang mendirikan industri di negara-negara yang jauh lebih maju dari Indonesia. Dengan semakin banyaknya industri di Indonesia maka peluang mendapatkan kerja juga semakin tinggi, sehingga tingkat pengangguran bisa menurun. Efek buruk dari banyaknya industri juga lumayan banyak. Persaingan antar perusahaan semakin lama semakin tidak sehat. Promosi hasil produksi berbeda dengan produksi aslinya. Hal inilah yang membuat perusahaan tersebut semakin kaya, namun kesehatan masyarakat tidak diperhatikan. Mereka lebih memilih keuntungan ketimbang kualitas. Selain itu, kesewenang-wenangan pihak manajemen terhadap pekerja juga tidak kalah hebohnya. Mereka tidak mau meningkatkan upah pekerja karena bisa menurunkan laba perusahaan, padahal harga produk mereka sudah mereka naikkan. Kesejahteraan pekerja juga ada yang diabaikan karena jumlah pekerja yang cukup banyak. Memang tidak selamanya perusahaan asing memberikan kenyamanan dalam memberikan sesuatu kepada pekerjanya. Mereka hanya memandang tenaga kerja Indonesia sebagai mesin pekerja yang murah yang bisa digantikan kapanpun tanpa harus kehilangan modal, alias PHK. Untuk mencegah PHK secara besar-besar yang mungkin akan terjadi saat ini mengingat nilai tukar rupiah yang semakin naik, sebaiknya pemerintah memberikan kepastian hokum mengenai pengangkatan pekerja oleh sebuah perusahaan. Pemerintah harus lebih tegas kepada pemilik-pemilik modal dalam mengambil tindakan yang menguntungkan masyarakat Indonesia.

Kembali ke persoalan awal, setidaknya pemerintah memilih jalan keluar lain dalam pengendalian peningkatan jumlah penduduk. Seandainya saja program KB sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan di masa yang akan datang, pemerintah sudah memiliki program pengganti atau back-up plan yang lebih fleksibel dan mudah diterapkan di setiap daerah. Lebih baik pemerintah berpikir kembali mengenai perkembangan program KB tersebut. Penentuan program pengganti juga harus dipikirkan sekarang mengingat perkembangan dunia tidak bisa kita proyeksikan. Seperti pepatah “sedia payung sebelum hujan”, lebih baik kita menyiapkan rencana-rencana baru sebagai pengganti program lama, meskipun nantinya kita tidak menggunakan rencana tersebut, daripada kita merasakan masalahnya terlebih dahulu, baru kita membuat rencana pemecahan masalah. Selain pemerintah, sebaiknya juga masyarakat Indonesia melaksanakan peranturan dan program yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Beberapa masyarakat Indonesia selalu melakukan kegiatannya tanpa melihat keadaan sekitarnya. Sebagai contoh simpelnya adalah ketika berada di jalan raya. Jika kita melaksanakan aturan dan program pemerintah dengan baik, maka kondisi kita kedepannya akan berubah menjadi semakin baik. Semoga kedepannya pemerintah dapat memperbaiki sistem perencanaan kependudukan menjadi lebih baik dan masyarakat Indonesia dapat melaksanakannya tanpa berat hati.

*bila ada kata-kata yang menyinggung pihak lain, Saya selaku penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline