Lihat ke Halaman Asli

satria winarah

yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya

Kembang Api Tahun Ini

Diperbarui: 17 Mei 2021   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu ledakan terjadi. Hanna berlari sekencang yang ia bisa. Kaki pendek dari gadis berumur empat tahun itu tidak bisa melangkah dengan sempurna. Ujung kukunya membentur batu kecil, membuat Hanna langsung terjerembab ke atas tanah. Rasa perih menggigit ujung ibu jari kakinya seiring darah mengalir dari balik kuku yang memerah. Dengan telapak tangannya yang mungil, Hanna berusaha membersihkan debu pada pipinya. Ledakan itu terjadi lagi.

Suara ledakan itu sangat keras, seperti ada tamparan yang mendarat di telinganya. Dari balik bangunan yang tinggi menjulang, Hanna bisa melihat kepulan debu yang menyembur ke atas cakrawala. Hanna tidak tahu kalau kembang api tahun ini akan sangat menakutkan. Bukan hanya Hanna, teman-temannya dan beberapa orang dewasa juga tampak berlarian ke rumah masing-masing. Siapa sih yang meledakkan petasan sekeras itu di pagi hari ini?

“Hanna!” Bashir kakak Hanna datang dari belakang dan segera membangunkannya. “Ayo cepat kita pulang.”

Duarr!!! ledakan terjadi lagi beberapa blok di depan mereka. Bumi berguncang ke kanan dan ke kiri, membuat Hanna terjatuh kembali. Telinga Bashir dan Hanna berdengung kencang, seperti ada sirine yang berteriak di dalamnya. Hanna menutup kedua telinganya dengan penuh rasa takut. Air mata mulai mengalir dari sudut mata gadis empat tahun itu. Api dan cahaya merah dari ledakan itu tampak berkilatan di depan mereka. Saat itu juga, mereka mendengar suara gemuruh yang membuat bumi bergetar sekali lagi. Suara gemuruh terdengar seperti puluhan guntur yang meledak bersamaan. Gedung yang baru saja dihantam ledakan itu ambruk. Melahirkan tsunami debu yang menyapu seluruh penjuru.

Beberapa detik kemudian, gulungan ombak debu menerpa Bashir dan Hanna. Dua bocah kecil itu segera menutup hidung dan mata mereka. Mereka saling memeluk dengan erat, ketika ombak debu itu mendorong mereka berdua hingga tersungkur. Tak hanya debu, ada banyak batu kecil dan kerikil yang bertebaran di dalam gulungan ombak debu itu. Satu persatu menghujani kepala mereka hingga bocor. Darah mengalir dari pelipis dan dahi mereka.

Selama beberapa saat, mereka tertelungkup di atas jalan itu. Tubuh mereka tertimbun debu setebal lima sentimeter. Baru ketika gelombang itu sudah menyusut, Bashir dan Hanna bangkit kembali. Dengan tangan mungilnya mereka berdua mencoba membersihkan wajah mereka. Jemari mungil Hanna perlahan membasuh kelopak mata yang dipenuhi debu. Lalu beralih ke hidung dan bibir. Hanna perlahan membersihkan debu yang memasuki lubang hidungnya. Bashir dan Hanna terbatuk dengan keras karena jutaan debu yang masih bertebaran di udara.

“Ayo cepat kita pulang!” ajak Bashir tak putus semangat. “Ini bukan kembang api. Ini rudal!”

Bashir tujuh tahun dan Hanna empat tahun. Dengan baju terbungkus debu mereka berjalan menuju rumahnya beberapa blok di depan mereka. Di sekitar mereka orang-orang berlarian dengan panik. Ada yang masuk ke rumah, ada juga yang justru berlari ke arah ledakan untuk menyelamatkan korban.

“Hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula wani’man nashir,” ucap orang-orang yang berlarian menuju pusat ledakan.

Bashir dan Hanna akhirnya sampai di rumahnya yang ada di lantai empat sebuah flat. Tapi ternyata, flat itulah yang baru saja roboh tadi.

“Ummi…?!” jerit Hanna di tengah kepulan debu, di hadapan reruntuhan gedung yang menggunung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline