Lihat ke Halaman Asli

satria winarah

yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya

Satu Matahari Lebih Baik

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Senja terkadang menjadi sebuah momen berkontemplasi yang tepat untuk sebagian orang. Termasuk salah satunya, seorang pemuda berumur 14 tahun yang bernama Durga. Anak seorang petani yang tinggal terpencil di pondoknya. Jauh dari sekolah dan segala macam aktifitas masyarakat, mulai dari pasar, hingga apapun. Adinata, ayah Durga, lebih memilih mengolah segala macam kebutuhannya sendiri. Pakaian, makanan, ia yang buat sendiri. Kecuali sedikit pelajaran yang harus Durga dapat di sekolah. Adinata tak mampu untuk mengajarkan ilmu pengetahuan macam itu kepada Durga, karena ia sendiri tak sekolah. Tapi pendidikan di rumah yang diprakarsai olehnya, sungguh jauh lebih berarti dari sekolah manapun terhadap pribadi Durga.

“Allah s.w.t. telah memberikan kita kenikmatan yang sangat luar biasa nak,” ujar Adinata suatu hari, di senja yang bermega. “Kita telah dianugrahi fokus dalam menjalani hidup ini. Pandangan kita tidak dikelabui oleh apapun.”

Durga hanya menatap ayahnya, mencoba untuk mengerti. Tapi pada akhirnya, ia bertanya, “Maksudnya yah?”

“Jangan jauh-jauh kita lihat orang di kota. Lihat saja orang di kampung itu, apa yang sebenarnya mereka cari?” jelas Adinata, perlahan.

“Mereka mencari kehidupan, uang, kesejahteraan, kesenangan...” terdiam sebentar. “Mereka semua membutuhkan itu..” jawab Durga, berkat pendidikan pribadi yang konsisten dan dalam selama ini.

“Betul,” tegas Adinata membenarkan. “Sampai-sampai mereka lupa tujuan sebenarnya dari kehidupan ini.”

“Lantas kita harus bersyukur, karena dengan hidup kita yang telah dianugrahi olehNya seperti ini, kita tidak dikelabui oleh keinginan, kebutuhan, dan apapun,” sambung Durga.

“Iya nak, termasuk setelah meninggalnya ibumu...” merekapun terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian, “ada hikmah yang bisa diambil dari sana..”.

Mereka sama terdiam, menikmati hamparan sawah yang hijau bergoyang dibelai angin. Langit menguning disepuh mega yang menembus awan-awan. Matahari sudah tak nampak. Jam sudah pukul 5 sore lewat. Mereka belum ingin beranjak untuk bangkit sholat. Sedang berdzikr disini.

“Alhamdulillah... inilah matahari kita, fokus kita, dan tujuan kita,” sambung Adinata. “Satu matahari lebih baik, nak. Engkau tidak dibutakan oleh jerami ketika disuruh mencari jarum.”

“Tapi dalam meraih itu, aku tidak bisa bertahan pada satu cara yah..” balas Durga, seolah bertanya.

“Kakimu tidak bisa berjalan di atas dua jalan yang berbeda. Maka jalan mana yang kau pilih, totalitaslah di dalamnya. Kalimat motivasi apa yang kau ambil, gunakanlah itu saja, selamanya... usahakan mataharimu hanya satu. Jika kau tambah menjadi dua atau tiga, engkau akan silau, dan tidak bisa mengeksekusi apapun. Pilihlah satu, ibadah apa yang paling engkau jagokan. Pilihlah satu, kalimat motivasi yang paling engkau andalkan. Pilihlah satu, jalan lurus menuju Tuhan...”.

Dari kejauhan, suara gemuruh beduk terdengar memanggil. Seperti bende yang dipukul untuk membangkitkan semangat prajurit dimedan perang. Beduk itu juga dipukul, dan membangkitkan semangat dalam penghadapan kali ini, yang sangat jauh lebih berat daripada perang apapun. Ketika diri sudah tenggelam di dalam makna, dan gerak tak punya arti. Perang yang merupakan gemuruh gerak besar itu, pada akhirnya kalah dibanding sedekap dan sujud.

Dialektika sore hari, Durga dan Adinata.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline