Lihat ke Halaman Asli

Silent Murder vs Persatuan dan Persaudaraan

Diperbarui: 26 Mei 2017   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu lalu sejumlah tokoh agama dan masyarakat telah panggil oleh Presiden ke Istana Negara. Pertemuan tersebut kemudian menghasilkan suatu himauan dari Presiden agar seluruh masyarakat kembali mengeratkan rasa persaudaraan. Pertemuan yang diadakan oleh Presiden bersama dengan para tokoh lintas agama dan tokoh masyarakat tersebut menunjukan bahwa Pemerintah sedang menghadapi persoalan yang cukup serius. Bukan persoalan ekonomi maupun persoalan ketahanan pangan yang menjadi persoalan besar saat ini, tetapi persoalan yang sangat fundamental, yakini persoalan kesatuan dan persatuan.
Persoalan persaudaraan dan kesatuan menjadi tantangan yang sedang dihadapi oleh pemerintah saat ini. Presiden dengan segala kewenangannya telah melakukan upaya yang optimal untuk membuat keadaan bangsa kembali menjadi lebih sejuk. Aparat keamanan, TNI dan Polri, telah diinstruksikan untuk “menggebuk” semua pihak yang mencoba menghancurkan landasan ideologi dan filosofi negeri. Para menteri yang mengurus persoalah hukum dan keamanan telah diperintahkan untuk membubarkan setiap organisasi yang memiliki tendensi untuk mengubah dasar negara. Lalu, apakah persoalan ini hanya menjadi tugas dan tanggung jawab Presiden dan jajarannya semata?
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri bukan hanya didasari pada terdapatnya Presiden dan Wakil Presiden semata. Negara dan bangsa ini tidak akan pernah ada sampai saat ini, jika kita memandang bahwa semua persoalan dan kepentingan bangsa ini hanya diurus oleh pemerintah atas dasar dan berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Pemerintah hanya satu elemen yang menjadikan negara ini tetap berdiri sampai saat ini. Keberadaan Pemerintah hanyalah aspek kecil dalam membentuk dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat atau rakyat yang berdiam diwilayah suatu teritorial yang disebut dengan Negara merupakan faktor kunci bagi terbentuk dan bertahanya suatu negara.
Persoalan yang sedang dihadapi oleh Pemerintah saat ini sesungguhnya merupakan suatu persoalah yang sangat abstrak untuk dikonstruksikan bentuk dan wujud persoalannya. Meskipun persoalan ini bersifat abstrak, tetapi daya hancur dari persoalan ini dapat “menyelesaikan” nasib berbangsa dan bernegara. Persoalan ini bagaikan silent murder, yang mana setidaknya terdapat dua hal utama yang membuat persoalan ini dipandang cukup serius, yakini perosalan internal dan eksternal.
Persoalan internal, bangsa Indonesia saat ini sedang berhadapan dengan gejolak paham radikal dan anti nasionalitas yang sedang berkembang ditengah masyarakat. Paham radikal dan anti nasionalitas akhir-akhir ini menjadi sangat sistematis disebabkan karena semua lapisan masyarakat coba dibenturkan dengan persoalan ini. Mulai dari masyarakat lapisan ekonomi lemah, sampai kepada para mahasiswa yang nantinya akan menjadi pemegang tongkat ekstafet negeri. Virus radikal dan anti nasionalitas ini merujuk pada suatu pemahaman bahwa hidup berbangsa dan bernegara yang berlandaskan pada filosofi dan ideologi Pancasila adalah suatu hal yang sangat keliru. Dengan membawa embel-embel agama, Pancasila kemudian dijadikan sebagai penyebab tidak bersatunya umat pemeluk agama tertentu. Cita-cita ingin menumbangkan Pancasila dan menggantinya dengan ideologi kelompok, menjadi suatu keinginan besar yang ingin direalisasikan oleh para kaum radikal tersebut.
Persoalan kedua ialah persoalan yang sifatnya eksternal. Filipina sebagai salah satu tetangga dekat Indonesia sedang menghadapi persoalan darurat. Salah satu pulau yang cukup besar di negara tersebut, yakini Mindanao, telah dikuasai oleh organisasi sayap ISIS. Awal minggu ini, untuk pertama kalinya pertempuran antara tentara pemerintah dan kelompok militan terjadi disalah satu kota di pulau Mindanao tersebut yakini kota Marawai. Pertempuran yang terjadi di kota Marawai tersebut menjadi suatu pertanda, bahwa kelompok militan tersebut memiliki perlengkapan persenjataan yang cukup mengkhawatirkan. Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Persoalan di Marawi, Filipina, tersebut tidak dapat hanya dipandang sebagai sebuah pekerjaan rumah negara Filipina semata. Berkaca pada awal mula ISIS di Suriah, maka sesungguhnya kelompok tersebut berakar dari suatu wilayah tertentu. Namun dengan kekuatan dana dan persenjataan yang ada, kelompok tersebut dapat menguasai hampir seluruh negara Suriah. Ini artinya, perosalan di Filipina, jika tidak diantisipasi secara serius, baik dari pemerintah Filipina sendiri maupun dari luar negara Filipina termasuk Indonesia, dapat menjadi suatu persoalan serius bagi keamana dan kestabilan kawasan Asia Tenggara.
Kedua persoalan tersebut bermuara pada suatu hal, yakini ideologi. Ideologi kelompok non-toleran yang sedang berkembang di Indonesia ditambah dengan perkembangan kelompok sayap ISIS di di Filipina, merupakan suatu persoalan yang berakar dari adanya ideologi/pemahaman yang dipertahankan dan diperjuangkan secara sepihak. Persoalan ideologi tersebut sesungguhnya tidak dapat ditindak secara fisik oleh Negara (Hard Power). Ideologi radikalisme tersebut sesungguhnya dapat dipatahkan dan dihilangkan. Ideologi yang keliru tersebut dapat dihilangkan dengan adanya rasa persatuan dan kesatuan Anak Negeri. Rasa persatuan dan persaudaraan yang harus kembali dibangun didalam diri setiap anak negeri merupakan kekuatan yang dapat dikategorikan sebagai soft power yang dimiliki negeri ini. Jika Presiden beberapa hari yang lalu menekankan soft power dengan pendekatan budaya dan agama, maka seharusnya jiwa nasionalisme dan persaudaraan juga merupakan bagian dari soft power yang dimiliki negeri ini.
Seluruh elemen bangsa ini harus bersatu dan bersepakat bahwa persoalan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan persoalan yang tidak relevan dan bahkan “telah kuno” untuk dipermasalahkan. Sebagai negara yang meletakan kedaulatan di tangan rakyat, maka itu artinya tokoh penentu keberlangsungan dan arah perkembangan negeri terletak ditangan rakat. Rakyat tidak bisa hanya berdiam, dan sibuk mengurus persoalan-persolan yang sangat kecil dan remeh temeh yang menguras energi bangsa. Masyarakat Indonesia harus sadar bahwa ada ancaman serius yang sedang membayangi keberlangsungan negeri. Persoalan tersebut tidak dapat hanya dipercayakan pada Pemerintah semata. Inilah saatnya menunjukan sumbangsih KITA pada ibu pertiwi dan kepada para pendiri bangsa, bahwa kita tidak mengkhianati perjuangan mereka dalam membentuk dan mendirikan negeri ini. Dan inilah saatnya menunjukan kepada generasi penerus bangsa, bahwa manusia-manusia Indonesia yang hidup dizaman kini, peduli dan tetap menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap berdiri kokoh. Suara dan sikap bangsa Indonesia saat ini diperlukan untuk menjawab tantangan yang disampaikan oleh Soekarno, bahwa kita bernegara bukan untuk satu tahun, bukan untuk satu abad tetapi kita berbangsa dan bernegara untuk selama-lamanya. Sikap dan suara masyarakat Indonesia saat ini diperlukan untuk meyakinkan pemerintah bahwa Pemerintah tidak perlu ragu apalagi takut, untuk membasmi dan bahkan kalau perlu membumi hangsukan semua pihak yang ingin menimbulkan kegaduhan dan perpecahan negeri. *Satria Saronikhamo Waruwu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline