Lihat ke Halaman Asli

Hak Angket DPR dan Belenggu dalam Proses Penegakan Hukum

Diperbarui: 28 April 2017   14:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai lembaga legislatif, memiliki suatu hak istimewa yang diatur dan diberikan oleh Undang-Undanag Dasar 1945, yakini Hak Angket. Hak Angket yang dimiliki oleh DPR tersebut merupakan suatu hak konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka menjalankan sistem pemerintahan yang bersifat check and balance. Tetapi penggunaan hak angket ini sering sekali dipandang sebagai suatu belenggu konstitusi dalam proses penegakan hukum saat ini. Salah satunya ialah Hak Angket yang baru disetuji oleh DPR yang dikhawatirkan digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi dan mengintervensi KPK terhadap proses penanganan kasus E-KTP yang seharusnya, sesuai dengan amanat Undang-Undang 30 tahun 2002, bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Independensi dan kebebasan KPK dalam penanganan kasus E-KTP mulai diuji ketika beberapa pimpinan DPR mengajukan surat kepada Presiden untuk meminta Presiden “memonitor” penanganan kasus korupsi yang menyeret-nyeret nama ketua DPR saat ini yakini Setya Novanto. Namun permintaan tersebut tidak direspon oleh Presiden, yang lebih memilih menyerahkan proses penegakan hukum yang berlangsung kepada KPK dan Pengadilan. Tanggal 28 April 2017, entah kepentingan apa yang berada dibalik pengambilan keputusan pada sidang paripurna yang akhirnya menyetujui dan mengesahkan dilaksanakannya Hak Angket DPR terhadap KPK. Hal ini secara otomatis menarik perhatian masyarakat dan mengkaitkan pelaksanaan Hak Angket tersebut pada penanganan kasus E-KTP.

Sebagaimana yang diberitakan oleh detik.com pada hari Kamis tanggal 27 April 2017, bahwa salah satu penyebab Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan hak angket ialah adanya keinginan anggota DPR untuk membuka Berita Acara Pemeriksaan Maryam Haryani di kasus E-KTP, namun keinginan tersebut tidak mendapat persetujuan dari Komisi Pemberantasan Koripsi. Keengganan KPK untuk membuka BAP tersebut, telah mendorong Komisi III menggulirkan wacana penggunaan Hak Angket. Secara konstitusional, Hak angket merupakan hak yang diberikan oleh konstitusi sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945, dan Hak angket tersebut secara lebih rigid diatur didalam Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang  MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (MD3).

Pada pasal 79 ayat 3 Undang-Undang MD3 secara jelas menyebutkan bahwa hak angket merupakan suatu hak DPR untuk melakukan penyelidikian terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pada intinya bahwa DPR dapat melaksanaan hak untuk menyelidik tersebut jika DPR menemukan bukti bahwa telah terjadinya suatu bentuk pelaksanaan undang-undang atau kebijakan yang diduga telah bertentangan dengan peraturan perundang-undang. 

Dengan demikian bahwa sesungguhnya hukum telah memberikan suatu batasan yang jelas bagi DPR dalam melaksanakan Hak Angket tersebut. DPR harus menemukan adanya indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pemerintah. Berkaitan dengan Hak Angket yang digulirkan kepada KPK, maka pertanyaan penting yang harus dijawab ialah apakah KPK telah melakukan suatu kebijakan atau sikap yang telah melanggar peraturan perundang-undagan sehingga layak dan pantas bagi DPR untuk menyelediki dugaan pelanggaran tersebut? Dan apakah dengan enggannya KPK membuka BAP tersebut kepada DPR, menunjukan bahwa KPK telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-udangan?

Berita Acara Pemeriksaan yang memuat keterangan dari Maryam merupakan suatu dokumen penting dalam pengusutan dan penegakan hukum atas kasus korupsi E-KTP. BAP merupakan suatu alat bukti yang diklasifikasikan sebagai alat bukti surat, yang menjadi salah suatu hal penting dalam proses pembuktian di hadapan majelis hakim. Alat bukti tersebut seharusnya berisifat tertutup. Artinya bahwa alat bukti tersebut hanya boleh diperlihatkan hanya pada saat proses pembuktian yakini pada proses persidangan. Jika alat bukti, salah satunya BAP, telah dibuka pada pihak diluar dari penyidik, penutut umum dan hakim, maka originalitas/keaslian dari alat bukti tersebut akan sangat rentan untuk dipertanyakan dan diragukan keabsahanya dimuka pengadilan. 

Oleh sebab itu,  sikap KPK yang memilih untuk tidak membuka BAP tersebut, merupakan suatu langkah yang tepat dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi E-KTP.  Sehingga jika membaca keengganan KPK untuk membuka BAP tersebut dari sudut pandang yang demikian, maka “ketidak patuhan” KPK terhadap permintaan Komisi III DPR, tidak pantas dipandang sebagai bentuk pelanggaran peraturan perundang-undang, sehingga tidak pantas Hak Angket terhadap KPK tersebut disetujui.

Hal yang dibutuhkan didalam sistem hukum Indonesia saat ini ialah dibutuhkan adanya lembaga atau badan, yang seharusnya berkompeten dalam menguji dan memutuskan layak atau tidaknya Hak Angket tersebut di putuskan. Jika pokok pikiran dari Hak Angket tersebut adalah hak untuk melakukan penyelidikan, maka rasionalitasnya berkaitan dengan pengujian hak angket tersebut ialah apakah penetapan diberlakukannya hak tersebut sesuai dengan batasan-batasan yang diberikan oleh undang-undang atau tidak? Jika ternyata hak tersebut dijalankan tidak sesuai dengan koridor hukumnya, maka itu sama saja DPR telah melakukan abuse of power

Sehingga kontrol terhadap pelaksanaan hak tersebut sangat diperlukan agar setiap kekuasaan atau hak yang dimiliki oleh DPR tidak disalah gunakan. Benar bahwa Hak Angket tersebut merupakan suatu hak yang diatur dan diberikan oleh konstitusi, tetapi didalam prakteknya, hak konstitusional tersebut sering sekali dijalankan tidak sesuai dengan koridur hukum yang berlaku, bahkan lebih condong bersifat politis, sehingga perlu adanya lembaga yang menguji karakter konstitusional dari setiap keputusan yang menyetuji Hak Angket dipergunakan oleh DPR. Hal ini guna menghilangkan kekhawatiran publik, jangan sampai setiap hak yang dimiliki oleh DPR tersebut, justru digunakan sebagai alat untuk mengintervensi bahkan menghambat setiap proses penegakan hukum, atas nama Hak Konstitusional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline