Istilah Blusukan adalah istilah yang dikenal dalam bahasa Jawa dialek Solo, kadang-kadang banyak orang tidak membedakan antara kata Blusukan dengan Keblasuk, Blusukan adalah ‘Perjalanan ke tempat-tempat jauh’ sementara Blasuk dalam bahasa Jawa dialek Solo artinya ‘Kesasar’. Budaya Blusukan bagi Raja-Raja Jawa memang dikenal dan ini sama terkenalnya dengan budaya laku pepebagi rakyat Jawa, bila ‘Laku Pepe’ adalah ‘minta perhatiannya rakyat’ pada pemimpinnya dengan duduk di bawah pohon beringin yang biasa di alun-alun, maka ‘Blusukan’ adalah gaya pemimpin Jawa dalam melihat kondisi rakyatnya.
Dalam konsep kepemimpinan Jawa penyatuan antara roh kepemimpinan dengan keinginan rakyat itu mengalir dalam satu irama kerja seorang Raja, tapi tidak semuanya Raja bisa mengangkat irama itu, ada Raja yang gagal mengangkat irama satunya rakyat dengan kepemimpinan seperti hal-nya Amangkurat (1646-1677) yang selama kepemimpinannya meneror rakyat dan terjadi ‘pagebluk’ tapi ada juga dalam sejarah Jawa, kepemimpinan Raja bersatu dengan air. Hal ini yang bisa dijadikan contoh adalah Pangeran Sambernyowo atau Adipati Mangkunegoro I, penguasa Kadipaten Mangkunegaran dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Pangeran Sambernyowo, yang kelak bernama Mangkunegoro I adalah Adipati kharismatis yang kekuasaannya mirip raja di tanah Voorstenlanden (tanah merdeka milik penerus Mataram setelah era Giyanti 1755). Sambernyowo memiliki satu prinsip : “Rakyat adalah air, kita hidup di dalam airnya rakyat, bila pemimpin bersih air juga jernih’. Ia juga adalah Adipati Jawa pertama yang menerapkan konsep egaliterian dalam hidup kerakyatan dengan adagiumnya :
“hanebu sauyun, kalamun ta keleban banyu tan ana kang pinilih”. Seperti serumpun batang-batang tebu, jikalau terendam air tak ada yang bisa dipilih, yang tinggi, yang pendek, yang besar dan yang kecil semuanya akan turut terendam. Ungkapan Mangkunagoro ini berarti adanya semangat kesetaraan, kebersamaan dan senasib sepenanggungan.
(Sumber : Pitutur Mangkunagoro I, cetakan Sriwedari Solo 1955)
Setelah peperangan gerilya selesai dan Belanda menyerahkan wilayah-wilayah Perdikan yang berada di sebelah tenggara dari kota Solo sampai Wonogiri. Saat keadaan mapan, Mangkunagoro I menerapkan agenda blusukan setiap saat yang dikontrol adalah sumber-sumber air untuk persawahan, selama pemerintahan Mangkunagoro I surplus beras terjadi di wilayahnya, Wonogiri menjadi daerah paling makmur. Inilah kenapa kelak Wilayah Kadipaten Mangkunegaran merupakan wilayah paling kaya raya dibanding kerajaan-kerajaan Voorstenlanden yang lain, bahkan setelah era tanam paksa, wilayah Mangkunegaran banyak didirikan pabrik-pabrik gula yang hasilnya banyak diekspor ke Eropa.
Sambernyowo menurut buku “Babad Mangkunegaran” yang merupakan diary atau catatan harian Mangkunagoro I , menceritakan bahwa setiap Rabu Legi minggu pertama, dan Kamis Pahing minggu ketiga Mangkunagoro melakukan blusukan, ia melihat situasi rakyat keseharian. Mangkunagoro membangun pos-pos laporan hasil padi disetiap kawedanan yang ditunjuknya. Mulai dari Ulu-ulu (pengatur air) sampai Mantri Pasar harus menyiapkan laporan, laporan ini kemudian dibandingkan dengan apa yang dilihat oleh Mangkunagoro I.
Selain Mangkunagoro, Raja Jawa yang paling terkenal suka blusukan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Raja Yogyakarta terbesar ini berkuasa cukup lama dari tahun 1940 sampai tahun 1988. Salah satu yang membuat dia populer adalah semangat kerakyatannya.
Ia menyatukan kepemimpinannya dengan ‘rasa penderitaan rakyat’, ia terus memantau apa mau-nya rakyat, apa keinginan rakyatnya dan yang terpenting kemampuannya membaca jaman. Di tahun 1942 ketika Jepang masuk, ada agenda Jepang bahwa rakyat Yogyakarta harus ikut agenda Romusha untuk memperluas lapangan terbang Maguwo dan sebagian akan dibawa ke Burma. Namun Sri Sultan menolak halus pada Jepang dengan mengatakan rakyatnya diperlukan untuk membangun irigasi yang kelak disebutnya sebagai ‘Selokan Mataram’. Irigasi ini melibatkan tenaga-tenaga muda yang kemudian terhindar dari kewajiban ‘budak perang’ Jepang itu. Sri Sultan juga kerap melakukan blusukan, ia mengunjungi pos-pos rakyat, mengunjungi warung-warung rakyat, ia berada di tengah persawahan Yogya, mendengar apa yang diinginkan rakyat Yogya.
Pendamping blusukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah Selo Soemardjan, salah seorang ahli Sosiologi paling terkenal, konsep kepemimpinan Sri Sultan ini kemudian disusun oleh Selo Soemardjan sebagai dasar-dasar kepemimpinan yang merakyat. Dari gaya kepemimpinan Sultan HB IX inilah kemudian lahir adagium yang terkenal “Tahta Untuk Rakyat”.
Konsep Tahta Untuk Rakyat dihasilkan dari tukar pikiran antara Sri Sultan dengan Selo Soemardjan, Frans Seda dan beberapa penasehat Raja di Kepatihan, kalimat itu menurut Selo Soemardjan lahir pada tahun 1952. Hal ini menjadi aturan dalam cara menjalani kepemimpinan di masa Sri Sultan HB IX. Sri Sultan memerintahkan Kepatihan terus memperhatikan kehidupan rakyat, mulai dari keamanannya sampai tingkat produksi masyarakat seperti Pabrik Perak di Kotagede, Usaha Transportasi di Pasar Gede, Usaha-Usaha Pegadaian sampai pada Paguyuban-Paguyuban Tani. Sultan sendiri sering langsung inspeksi ke Pasar dan melihat bagaimana harga-harga berkembang, bahkan ada kejadian lucu dimana Sultan sendirian menginspeksi dikira Sultan sebagai sopir truk dan disuruh angkut beras oleh salah satu pedagang pasar. Kejadian ini merupakan cerita rakyat terkenal di Yogya.
Lain Sri Sultan, Lain Bung Karno. Presiden Pertama Republik ini juga suka blusukan, di masa muda ia sering bersepeda jauh kesana kemari, ia sangat kuat sekali bersepeda. Sukarno bisa bersepeda ratusan kilometer, ia pernah bersepeda dari Bandung sampai Tasikmalaya, atau ke pinggiran kota Bandung. Dalam blusukan Sukarno sering bertanya pada penduduk desa, ngobrol, mencatat dan merasakan bagaimana kehidupan rakyat, kegemaran blusukan ini berlanjut sampai Sukarno menjadi Presiden. Saat Istana Presiden di Yogyakarta, salah satu kegemaran Sukarno adalah berjalan-jalan di persawahan Yogyakarta, yang dulu mengawal saat Sukarno blusukan adalah Latief Hendraningrat, Kanapi, Mangil dan Dokter Suharto. Sukarno kadang berlama-lama di rumah rakyat untuk mengetahui kehidupan mereka.
Setelah tahun 1950, Bung Karno senang blusukan ke berbagai daerah, tapi yang kerap ia lakukan adalah incognito. Pernah suatu saat Sukarno blusukan ke Pasar Senen, lalu Bung Karno duduk di depan tukang sate ayam. Saat rakyat mendengar suara Sukarno bicara pada tukang sate ayam, beberapa orang di Pasar mengenalinya dan berteriak “eh, itu kan bapak…itu kan bapak…” lalu beberapa orang mengerumuni dan pasar tiba-tiba menjadi gaduh.
Bung Karno amat menyukai kebersihan kota dan senang mengontrol monumen-monumennya. Ia amat mencintai Jakarta, salah satu obsesinya adalah Jakarta menjadi kota yang berbudaya. Bung Karno sering naik Jeep Hardtop dan keliling Jakarta ditemani beberapa orang mengontrol kota Jakarta, penentuan Jalan Sudirman sebagai central bisnis sebenarnya ditetapkan saat Bung Karno duduk di tepi jalan dekat kampung Senayan, saat blusukan Sukarno terbayang gambar daun semanggi di pikirannya, lalu ia teringat jembatan besar di Amerika Serikat, dari sinilah Sukarno kemudian terinspirasi membangun Jembatan Semanggi, yang sampai saat ini masih jadi Jembatan Jalan Raya terindah di Indonesia. Sukarno juga merencanakan Boulevard Sudirman sebagai pusat bisnis sampai Jalan Thamrin dan kemudian di seputaran Monas adalah gedung-gedung milik negara.
Yang ditanyakan Sukarno saat blusukan biasanya soal-soal kehidupan sehari-hari, ada satu cerita dimana Bung Karno menyelidiki sendiri penyebab langka-nya beras di Jakarta, ia langsung blusukan mengontrol gudang beras bersama Gubernur Jakarta saat itu, Henk Ngantung. Saat itu Bung Karno memperkirakan langkanya beras karena permainan politik karena disaat itu Bung Karno sedang ramai di demo mahasiswa dan ada isu akan ada ’sanering’ alias potong nilai uang.