Organisasi Islam yang mendeklirkan 'sumber ajaran' sebagai solusi dari setiap persoalan, dengan istilah kembali pada Al Qur'an dan As Sunnah mencapai titik nadir yang kronis di ambang kematian. Jargon hanya sekedar jargon, jauh sekali dari "substansi" dan aplikasi yang mesti di amalkan oleh seluruh anggota organisasi Islam tersebut.
Mestinya, ada komitmen yang mesti ditunaikan lembaga keagamaan untuk mengatasi berbagai problem kemanusiaan di kehidupan sosial diantaranya kemiskinan. Maka dalam hal ini, lembaga filantropi Islam menjadi terdakwa yang mesti di vonis bersalah. Karena sampai saat ini, kemiskinan tetap merajalela dan menggejala di masyarakat Islam.
Di lain pihak, agama atau lembaga yang mengatasnamakan agama begitu cepat merespons situasi politik untuk terlibat dan mendapatkan keuntungan dengan menjual suara umat dengan bungkus pemimpin "utusan terbaik", pemimpin pilihan umat atau pemimpin yang di ridhoi Allah. Kita tidak melihat lembaga atas nama agama, merespon situasi ekonomi dan turut bergerak terhadap kesengsaraan anggota agama atas kebijakan ekonomi.
Masalah-masalah terkait dengan ketidakadilan, rasialisme, penjajahan, dan isu kemiskinan seakan-akan padam. Kepentingan individu di lembaga agama dengan cara membuat kebijakan parsialistik, serta mengakomodir gerakan nepotisme sudah kadung menjadi program jihad yang terlihat nyata dan benar-benar realistis.
Kembali pada Al-Qur'an dan Assunah tidak pernah dibaca secara kontekstual untuk menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia atau jangkauan sederhana umat kelompok lembaga agama/anggota organisasi agama.
Lalu, kemudian hadirnya lembaga filantropi Islam yang seharusnya menjadi refleksi bersama kepedulian lembaga agama terhadap problem social justru lebih dikenal sebagai perusahaan dengan konsentrasi pada penyerapan aspirasi ala bussines marketing.
Karena masyarakat tidak pernah terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan untuk mempertanyakan seperti apa tanggung jawab lembaga agama. Serta apa yang harus dilakukan filantropi agama dalam konteks penyelesaian problem kemiskinan secara structural maupun kultural.[1]
Lembaga filantropi Islam, hari ini tidak memiliki spirit yang jelas. Bahwa filantropi islam itu harus benar-benar dan sesungguhnya berusaha untuk memberantas kemiskinan. Teologi Pembebasan[2] yang non Kapitalistik tidak ada nilai-nilai untuk membebaskan umat islam khususnya agar terlepas dari kemiskinan yang dalam konteks kajian disebut dengan kajian teologi pembebasan. Jadi nilai-nilai agama itu mendorong seseorang untuk melakukan gerakan pembelaan terhadap orang-orang yang tertindas.
Juga konsep filantropi itu, bukan kapitalistik tapi mencoba mendorong orang-orang terlepas dari kemiskinan contoh seperti John Calvin dengan Calvinisme, seseorang yang kaya lah yang akan masuk surga.
Banyak dan menjamurnya lembaga zakat dalam skala mikro maupun makro dari ruang lingkup daerah, provinsi ataupun tingkat nasional bahkan sampai pengelolaan di tingkat masjid menjadi kabar gembira akan geliat pengelolaan ekonomi umat baik dalam penghimpunan, pengelolaan, sampai pada tahap pendistribusian.
Geliat positif ini menunjukan begitu banyak perhatian dari para dermawan, aghnia, dan masyarakat secara umum untuk turut serta dalam menekan tingkat kemiskinan atau dengan istilah yang lebih mulia yaitu "pembebasan kemiskinan".