Lihat ke Halaman Asli

Guru Selektif, Siswa Aktif, Sekolah (Pun) Produktif

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pengumuman kelulusan Ujian Nasional (UN) bagi siswa/siswi SMA/SMK/MA baru saja dipublikasikan ke publik. Data statistik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia menyebutkan bahwa sebanyak 1.517.125 peserta, atau 99,5 persen dari total keseluruhan peserta  Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Atas 2012 lulus. Kelulusan tersebut diperoleh setelah menggabungkan nilai UN murni dan nilai sekolah. Dengan demikian, sebanyak 0,5 persen, atau 7.579 siswa harus mengulang UN tahun depan, atau ikut program kesetaraan paket C.

Selanjutnya, sumber tersebut juga menyebutkan bahwa persentase kelulusan tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu meningkat sebanyak 0,28 persen. Tahun lalu, persentase kelulusan baru 99,22 persen. Dari seluruh sekolah yang ikut ujian nasional, 87 persen di antaranya memiliki tingkat kelulusan 100 persen. Mendikbud menyatakan, masih ada empat sekolah yang tingkat kelulusannya nol persen. Artinya jika mau lulus tahun ini, maka siswa/siswinya diharuskan mengikuti ujian kesetaraan paket C.

Hasil tersebut tentu disambut gembira oleh masyarakat (baca; sekolah, orang tua, dan siswa) yang anaknya lulus ujian nasional. Dengan kelulusan tersebut, mereka berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya (pendidikan tinggi), dengan masuknya ke perguruan tinggi, maka memberikan harapan besar pula akan kesuksesan yang kelak akan diraih pasca menggondol gelar kesarjanaan dalam spesifikasi bidang ilmu yang diidam-idamkan.

Namun, ekspektasi tersebut tidak bagi mereka (siswa) yang saat ini tidak lulus ujian nasional. Ketidaklulusan itu membuat mereka menahan sejenak harapannya untuk dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Karena jika mereka berkeinginan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, maka mereka harus mengikuti program kesetaraan paket C, baru bisa mendaftar ke perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan pada ujian nasional tahun ini tidak ada ujian ulangan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Keberhasilan dan ketidakberhasilan para siswa dalam mengikuti ujian nasional tahun ini kemudian memicu pertanyaan besar dari penulis untuk menelisik mereka yang belum dinyatakan lulus dalam ujian nasional tersebut. secara diakronik, ada beberapa faktor penyebab ketidaklulusan siswa dalam mengikuti ujian nasional, baik secara internal maupun eksternal, secara internal faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut :

Pertama, ketidaksiapan pengetahuan, ketidaksiapan ini disebabkan oleh minimnya budaya baca, diskusi, dan latihan-latihan (penelitian) dari siswa/siswa tersebut dalam menjalani rutinitas kesehariannya. Ditambah mereka lebih suka nongkrong di mall atau tempat-tempat hiburan untuk mengisi waktu senggangnya dari pada harus berjibaku dengan buku di perpustakaan, berdialektika di taman, dan berurusan dengan tempat yang bernama laboratorium. Sehingga menjelang ujian nasional semakin dekat, mereka ‘babak belur’ ketika harus menghafal, membaca, dan menganalisa pelbagai pengetahuan yang kemungkinan muncul dalam ujian.

Kedua, ketidaksiapan mental, ketidaksiapan ini bisa saja terjadi kepada mereka yang memiliki kapasitas intelektual tinggi maupun rendah (IQ tinggi dan rendah). Karena ketidaksiapan ini lebih disebabkan faktor psikologis, sebab semakin tinggi kecemasan yang disugestikan seseorang akan pelbagai kemungkinan terburuk yang dihadapinya, maka ia akan semakin labil, saat kondisi labil tersebut maka ia akan semakin sulit berkonsentrasi, saat sulit konsentrasi maka ia akan sulit untuk berpikir rasional, empirik, dan sistematik. Sehingga mereka yang tadinya memiliki sejumlah pengetahuan (alias pintar) secara utuh menjadi tercerai berai. Maka apatah yang terjadi bila kondisi ini terjadi kepada mereka yang memiliki keterbatasan pengetahuan (untuk tidak menyebut malas, mohon maaf).

Ketiga, ketidaksiapan fisik, meskipun kadang ditemui ada beberapa siswa yang mengikuti ujian nasional di rumah sakit, klinik sekolah, dan lain-lain. Namun dalam konteks ini (lagi-lagi) lebih menekankan pada aspek psikologis siswa yang secara emosional belum bisa mengendalikan diri. Jika mereka dalam kondisi sakit, maka semakin tinggi pula tingkat kecemasan terhadap kemungkinan terburuk yang dihadapinya. Maka penulis mengklasifikasikannya sebagai salah satu faktor penyebab ketidaklulusan siswa dalam mengikuti ujian nasional.

Selanjutnya, secara eksternal, faktor-faktor yang menyebabkan ketidaklulusan siswa dalam mengikuti ujian nasional antara lain adalah sebagai berikut :

Pertama, minimnya dukungan dari orang tua di rumah, sebagai pendidik pertama dan utama di rumah, orang tua selaiknya tidak membiarkan anaknya untuk mengikuti keinginan nafsunya (bermain, keluyuran, dan lain-lain). Mereka semestinya memberikan bimbingan dan arahan kepada anaknya sekaligus memotivasi mereka bahwa ujian nasional merupakan salah satu pintu dalam menatap masa depan. Selain itu, mereka sebaiknya memahami ciri dan karakteristik anak-anaknya, sehingga memudahkan mereka dalam mengidentifikasi kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh anak-anaknya. Dengan begitu, mereka akan mudah untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan dukungan kepada anak-anaknya.

Kedua, kurangnya motivasi dari guru di sekolah, guru sebagai fasilitator sekaligus mediator antara orang tua dan anak dalam memfasilitasi pelbagai kebutuhan belajar siswa di sekolah, sebaiknya tidak hanya memberikan materi ajar (subject matter) sebagai objek kajian keilmuan an sich, tetapi juga dilengkapi dengan memberikan motivasi yang terus menerus kepada siswa baik dalam bentuk sikap maupun ucap. Karena pembelajaran sebagaimana disebutkan oleh J.C. Richards (1990;35) merupakan proses yang integral yang meliputi seperangkat kegiatan (activity), tugas (task), pengalaman belajar (learning experience) yang digunakan guru dalam proses pembelajaran dalam lingkungan belajar (sekolah).

Definisi tersebut menunjukkan bahwa sebuah pembelajaran harus meliputi kegiatan, tugas, dan pengalaman yang diperoleh siswa dalam pembelajaran, karena kesuksesan belajar merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang keberhasilan hidup seseorang, ia terdiri dari seperangkat prosedur atau langkah-langkah kegiatan yang dilakukan oleh guru sehingga memberikan pengaruh (impact) kepada peserta didik dalam bentuk penguasaan terhadap pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude).

Dengan demikian, pemberian motivasi dari seorang tenaga pengajar sangat dibutuhkan dalam pembelajaran di sekolah. Keberhasilan pendidikan termasuk di antaranya kelulusan dalam mengikuti ujian nasional ditentukan oleh sejauh mana guru dapat memotivasi siswanya untuk dapat mengembangkan kompetensi akademik (kognitif), kompetensi intrapersonal (afektif), kompetensi kinestetik (psikomotorik), dan kompetensi interpersonal (sosial).

Berpijak dari asumsi di atas, perlu kiranya dipertimbangkan oleh lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan swasta yang notabene mengelola SDM Guru secara mandiri untuk dapat merekrut guru-guru yang cerdas dan (benar-benar) berkualitas. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada lembaga-lembaga pendidikan di tanah air agar lebih selektif lagi dalam merekrut Guru-Guru yang kelak menjadi captain dalam pembelajaran di kelas. Adapun beberapa tahapan seleksi dalam perekrutan Guru tersebut antara lain dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini :

1.Tahap Seleksi Administrasi

Tahap seleksi administrasi ini merupakan tahap awal perekrutan guru setelah sekolah menginformasikan ke publik terkait dengan info dibutuhkannya tenaga pengajar/guru baru. Yang perlu diperhatikan oleh pihak sekolah (tim seleksi) adalah isi (content) dan metodologi (method) penulisan surat lamaran (application form) calon Guru tersebut, di antaranya meliputi; susunan gramatikal, diksi (pilihan kata), dan sistematika penulisan yang sesuai dengan standar yang berlaku dalam surat lamaran.

Hal itu dimaksudkan untuk melihat sejauhmana kecerdasan linguistik sekaligus kemampuan guru tersebut dalam menggunakan komputer. Meskipun demikian, bisa saja surat lamaran tersebut meniru atau bahkan dibuat oleh oranglain. Tetapi setidaknya bisa dijadikan sebagai pertimbangan oleh pihak sekolah dalam merekrut calon guru. Tahap ini sebaiknya dilakukan H+3 setelah surat lamaran masuk ke sekolah.

2.Pre-Interview

Tahap kedua ini merupakan wawancara awal bagi calon guru yang lolos seleksi administrasi, materi pertanyaan pada tahap ini sebaiknya meliputi; identitas pribadi, latar belakang pendidikan, penguasaan bahasa asing, pengalaman kerja, data keluarga, ekspektasi terhadap sekolah, dan keterangan lain mengenai data diri yang sifatnya komplementer.

Data tersebut dibutuhkan guna mengetahui sejauh mana kompetensi awal dari calon guru, melalui data itu pula pihak sekolah dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan calon guru sekaligus mengetahui kelayakannya dalam mengikuti tahapan seleksi selanjutnya. Tahap ini sebaiknya dilakukan H+3 setelah tahap pertama selesai.

3.Observasi

Setelah calon guru dinyatakan lolos pre-interview, maka ia dipanggil kembali untuk mengikuti observasi di sekolah. Tahap observasi ini meliputi observasi kelas dan observasi di luar kelas. Observasi di kelas antara lain; kegiatan belajar mengajar (KBM) atau aktivitas belajar siswa mulai dari pembukaan (opening), kegiatan inti (main activity), dan penutup (closing). Sedangkan observasi di luar kelas terdiri dari aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan di luar kelas yang meliputi taman bermain (playground), arena olahraga (sport area), dan wahana-wahana lain yang dimiliki sekolah (kebun, dan lain-lain). Bahkan termasuk di antaranya kegiatan guru.

Tahap observasi ini dimaksudkan agar calon guru dapat memahami ‘medan pertempuran’ yang dihadapinya kelak. Ia dapat mengetahui pelbagai media yang dapat digunakan dalam pembelajaran bagi siswa/siswinya kelak. Tahap observasi ini juga menjadi bahan pertimbangan bagi sekolah untuk mengetahui sejauh mana respon calon Guru dengan kondisi sekolah. Tahap ini sebaiknya dilakukan H+2 setelah tahap kedua selesai dan dilakukan selama lebih kurang 3 s/d 5 hari kerja. Sehingga ia memahami betul lingkungan sekolah.

4.Microteaching

Tahapan ini dilakukan setelah calon guru dinyatakan lolos tahap observasi. Microteaching ini dilakukan di kelas tertentu yang diinstruksikan oleh tim seleksi. Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah kecakapan calon guru dalam menyiapkan administrasi pembelajaran (RPP atau Lesson Plan) dan style pakaian, manajemen kelas (classroom management), pemanfaatan media dan sumber belajar (media and resources).

Kegiatan microteaching ini sebaiknya dilakukan beberapa kali di kelas yang berbeda. Dengan begitu, tim seleksi dapat mengetahui ketepatan penempatan calon Guru ketika ia dinyatakan diterima sebagai tenaga pengajar. Proses ini sebaiknya dilakukan 2 hari setelah tahap sebelumnya berakhir dimana calon Guru sudah memiliki kedekatan emosional dengan siswa.

5.Psikotes (psychological test)

Psikotes ini memiliki peranan penting dalam rangkaian perekrutan calon guru. Manfaat psikotes ini antara lain pihak sekolah dapat mengetahui IQ calon guru dan ketahanan guru dalam menghadapi pekerjaan yang beragam. Dengan kata lain, psikotes ini dapat mengukur sejauh mana kapasitas intelektual (intellectual), emosional (emotional), dan spiritual (spiritual) calon guru.

Di samping itu, pihak sekolah juga dapat memilih, memilah, dan menentukan standar guru yang layak bergabung di lembagaa pendidikan tersebut. Hasil psikotes ini biasanya bisa didapat H+7 pasca tes dilaksanakan atau tergantung lembaga dan jumlah peserta tes. Tahap ini selaiknya menjadi pertimbangan utama dalam perekrutan calon guru.

6.Post-Interview

Setelah pihak sekolah mengetahui kecakapan calon guru dalam microteaching, dan ia dinyatakan layak untuk bergabung dengan sekolah. Maka sebaiknya tidak langsung begitu saja menerima calon guru tersebut. Ada baiknya guru yang dinyatakan layak tersebut melewati tahap post-interview ini. Dalam wawancara ini perlu disampaikan kepada calon guru mengenai ;

a.Gaji/honor, tunjangan, dan pelbagai fasilitas yang akan diterima calon guru selama mengikuti on the job training (OJT) yang lebih kurang berlangsung selama 3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun disesuaikan dengan kebijakan sekolah, kemudian pengangkatan menjadi karyawan atau pegawai tetap, dan

b.Jam kerja atau jam mengajar guru, tugas-tugas tambahan, dan konsekuensi dari pelbagai aktivitas guru di sekolah.

Setelah calon guru tersebut memahami pelbagai hal terkait dengan manajemen dan kebijakan sekolah terhadap mereka, maka pihak sekolah memberikan pilihan kepada calon guru tersebut untuk menerima/menolak tawaran tersebut. Jika mereka menerima, maka sekolah segera membuat surat perjanjian kontrak kerja yang ditandatangani oleh kedua belah pihak sebagai bukti fisik persetujuan. Jika mereka menolak, maka tak ada kewenangan sedikit pun dari pihak sekolah untuk memaksa calon guru tersebut untuk menerima tawaran pihak sekolah.

Serangkaian tes tersebut bisa dijadikan alternatif guna menjaring Guru-Guru yang cerdas dan berkualitas. Proses rekrutmen yang panjang dan tidak asal-asalan Insya Allah akan menjadi solusi bagi keberhasilan pendidikan di sekolah termasuk di antaranya kelulusan dalam mengikuti ujian nasional, selektifitas dalam proses perekrutan Guru-Guru yang berkualitas tersebut kelak dapat menjadi solusi bagi pelbagai problem baik internal (siswa) maupun eksternal (orang tua) dalam mengahadapi problematika pembelajaran siswa di sekolah sekaligus di rumah.

Guru-Guru berkualitas tersebut akan menjadi mediator relasi orang tua dan siswa, siswa dan materi ajar, karena ia memiliki kecakapan dalam mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge) kepada siswa, menguatkan mental siswa dalam menghadapi pelbagai masalah (problem solving), dan menumbuhkan semangat berkompetisi (fighting) kepada siswa. Dengan kata lain, Guru-Guru tersebut akan memberikan pelayanan terbaik (service excellent) kepada siapa pun selama subjek tersebut memiliki visi dan misi yang sama dalam meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran dan menjadikan sekolah sebagai lembaga produktif yang siap mencetak pemimpin-pemimpin masa depan (Indonesia) yang berkualitas.

Wallahu a’lam bi al-shawab




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline