Lihat ke Halaman Asli

Alfian Arbi

Aquaqulture Engineer

Meyakini Presidensi G20, Akselerasikan Transisi Energi dan Perbaikan Ekonomi Bangsa

Diperbarui: 31 Juli 2022   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi I Tribunnews

Kuhentikan saja langkahku mengular di SPBU, untuk menanti BBM jenis Pertalite, meski lajur pengisian BBM Pertamax masih sangat lengang, pada Sabtu sore (29/7) itu. Aku lantas pulang sajalah, sapatahu nanti malam stok BBM subsidi di SPBU itu tersedia lagi.

Hati kecilku  meronta, 'Tega sekali ya Pemerintah membatasi BBM jenis Pertlite yang terjangkau itu, dan menaikkan harga jenis BBM Pertamax mendekati harga keekonomiannya"

Narasi politis yang terdoktrin di hati turut jua menimpali, "Kurang apalagi SDA Indonesia, yang seharusnya  mampu dong membentuk keterjangkauan harga energi  bagi masyarakat?"

Merenung sejenak fenomena massifnya narasi 'keterjangkauan' yang dicap dengan istilah harga murah oleh pendamba subsidi energi, apakah salah?

Namun, di sisi lain, di kehidupan barat sana, menganggap istilah keterjangkauan mudah bermakna hadirnya  kesejahteraan, dimana masyarakat siap dan mampu membeli setiap kebutuhan dengan mandiri, dengan stok produknya yang layak.

Dari situ, makna keterjangkauan akan menjadi dilema bagi penyandang 'status mampu', dan harusnya berhasil menjadi perenungan dalam-dalam, memproposionalkan diri, merasakan manisnya subsidi energi itu, bukan?

Dan lamunanku melesat ke masa perang dunia I, kala Jerman diembargo negera Eropa, namun Jerman mampu menciptakan bahan bakar sintetik gasoil, lubricant oil dan waxes dari pengolahan SDA Batubaranya yang melimpah. Teknologi coal to liquid, dan direct coal liquifation ampuh meyediakan 90% kebutuhan alat tempurnya, serta kebutuhan BBM 'murah' dalam negeri di tahun 1940.

Namun, --memang-- jaman sudah berubah. Dunia sedang menerapkan teknologi ramah lingkungan memanja produksi energi bersih. Sebut sajalah aplikasi solar panel, yang menyisipkan baterai mendistribusi energi, menggerakan alat mekanik dan jua elektronik dengan efisien.

Meraba detail proses teknologi produksi baterai itu, menyisakan bayangan rumit, mengolah biji nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MPH) dan Mixed Sulphide Precipitate (MSP). Keduanya masih diproses lagi, menjadi Nickel Sulphate dan Cobalt Sulphate. Pengolahan berlanjut menjadikannya  produk  precursor dan katoda baterai, sebagai  elemen utama batrai solar panel itu.

Bayangan kenikmatan hidup menjadi warganegara sebuah negara maju itu spontan mudah hadir ya? Kenikmatan atas suguhan ragam inovasi modern menghadirkan pilihan banyak energi bersih, dan bersama mampu mengakselerasi transisi energi fossil, memantik akselerasi transisi  ekonomi lebih baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline