Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Satria

Menambah Pengalaman dengan Menulis

Latah Berucap Riya

Diperbarui: 16 April 2020   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Mengacu kepada hadits Rasulullah Muhammad shalallahu'alaihiwasallam, riya' merupakan salah satu penyakit hati pada manusia. Ya, penyakit hati yang membuat seseorang berbuat baik karena ingin dipuji manusia lain, bukan semata-mata mengharap ridha Allah subhanahuwata'ala. Penyakit hati yang cantik bungkusnya, namun busuk dalamnya.

Manusia diperintahkan untuk saling mengingatkan. Tentu, mengingatkan dalam kebaikan, salah satunya bahaya akan riya'. Namun - tanpa bermaksud berprasangka buruk - pernahkah kita merasa bahwa kebanyakan manusia saat ini hanya latah saja berucap riya'? Pernahkah kita merasa bahwa dalam hal ini mereka bukan murni mengingatkan, namun lebih disebabkan oleh dorongan kebencian personal terhadap orang yang "diperingatinya"? Tidakkah perbuatan demikian justru terlihat sebagai bentuk penyakit hati yang lain, yakni iri hati atau kedengkian? Sejujurnya, sangat miris bila memang demikian.

Dunia sedang berduka, Corona semakin menggila. Membabi buta "memangsa" korbannya, membuat ribuan orang meregang nyawa. Hampir semua negara memerintahkan penduduknya untuk tetap di rumah saja, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, #dirumahaja ternyata berdampak cukup parah terhadap ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pekerja harian. 

Dengan demikian, muncullah inisiatif dari kelompok masyarakat lain yang masih merasa berkecukupan untuk memberikan bantuan: baik berupa makanan, uang tunai, maupun alat penunjang kesehatan. Perbuatan mulia tersebut pun didokumentasikan dan disebarluaskan melalui sosial media, seperti terlihat pada akun sosial media dua influencer besar Indonesia: Ria Ricis dan Atta Halilintar.

photo credit: instagram.com/riaricis1795

photo credit: instagram.com/attahalilintar

Kendati demikian, perbuatan mulia tersebut masih saja mendapat nyinyiran yang rasa-rasanya cukup menyakitkan.

photo credit: instagram.com/riaricis1795 & attahalilintar

Padahal dr. Tirta, salah seorang dokter yang mungkin saat ini bisa juga dikatakan sebagai influencer, menyatakan di sebuah forum di televisi bahwa pendokumentasian tindakan berbagi tersebut dapat memicu semangat berbagi serupa pada manusia-manusia lainnya. Lagipula, toxic di sosial media tidaklah sedikit, bukan? 

Berapa banyak prank-prank di sosial media yang mempermalukan orang lain, atau perbuatan membuang-buang makanan, atau ungkapan-ungkapan kebencian? Anggap saja tindakan berbagi ini menjadi penawar bagi toxic-toxic tersebut. Penawar - yang juga dapat menjadi kekuatan di dalam sosial media untuk membentuk pribadi-pribadi berperilaku terpuji.

Beruntung, dukungan terhadap perbuatan mulia berbagi ini juga tidak kalah banyak.

photo credit: instagram.com/riaricis1795 & attahalilintar

Marilah kita ubah rasa iri pada diri kita menjadi rasa iri yang mendorong kita untuk berbuat kebaikan yang serupa, atau bahkan lebih baik. Indah bukan jika melihat semua manusia hidup dalam ketenangan, melihat tidak satu pun manusia disiksa oleh rasa lapar? Akhirulkalam, sekian dari saya, dan... semangat terus penyebar kebaikan! :)



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline