"Buruan eh ambilin 'nyak ember!" teriak 'nyak (panggilan saya untuk ibu dari ayah) kepada cucu-cucunya (termasuk saya) kala terdengar bunyi hujan yang menghantam atap. Entah untuk apa, saya tidak tahu juga. Sebagai seorang anak kecil, saya turuti saja kemauan orang tua.
Semakin saya besar, akhirnya saya paham juga. Bukan, bukan paham bahwa 'nyak meminta ember untuk menampung air hujan - saya sudah paham sejak dulu, melainkan paham betapa pentingnya seember air hujan yang bisa didapat secara cuma-cuma.
Bayangkan saja, dengan seember air hujan 'nyak bisa merendam tiga sampai empat potong kain guna dijadikan pel, kemudian menggunakan air sisa rendaman tadi untuk membersihkan teras dari pasir.
Itu baru seember, sedangkan 'nyak biasa menggunakan dua sampai tiga buah ember. Tentu bukan hanya penggunaan air tanah yang bisa dihemat, melainkan pula listrik.
Selain 'nyak, eyang pun melakukan hal serupa. Bedanya, eyang (panggilan saya untuk ayah dari ibu) tidak menampung air hujan. Eyang menggunakan ember yang jumlahnya belasan untuk menampung air tanah. Maksud saya, eyang tidak mau menyalakan mesin air berkali-kali karena menurutnya hal tersebut merupakan pemborosan listrik. Oleh sebab itu kala mesin air dinyalakan, eyang akan menampung sebanyak mungkin air.
Dari kedua peristiwa tersebut, saya menyarankan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan tempat bagi warga menampung air hujan. Tempat itu saya namakan sebagai 'Bank Air'. Mengapa diperlukan bank air?
Pertama, saya tidak melihat setiap rumah memiliki tempat untuk menampung air hujan, sebagai contoh 'nyak. Banyaknya air hujan yang turun hanya bisa ditampung di dua sampai tiga ember karena keterbatasan tempat. Dampak positif dari ditampungnya air hujan itu pun tidak panjang, karena air hujan yang jumlahnya hanya kurang lebih tiga ember tentu segera digunakan.
Kedua, eyang memang memiliki tempat untuk menampung air, namun tidak adanya pengawasan yang memadai membuat ember-ember tersebut terisi oleh jentik nyamuk - saya yakin akan itu sekalipun belum pernah melihatnya dengan jelas.
Maka hadirlah bank air, sebagaimana bank sampah. Dengan bank air ini warga bisa mengumpulkan air yang ditampungnya - terutama air hujan. Bank air ini juga perlu dilengkapi dengan teknologi yang bisa memperbaiki kualitas air hujan - kita tahu udara Jakarta tidak bersih. Teknologi untuk mencegah hinggapnya jentik nyamuk pada air yang ditampung pun perlu disediakan.
Guna menarik minat masyarakat untuk mulai menampung air hujan, pemerintah bisa memberikan sejumlah rewards seperti uang atau sembako yang disesuaikan dengan banyaknya volume air yang dibawa tiap-tiap warga.
Dampak positif dari bank air ini akan sangat terasa kala listrik mati dengan tiba-tiba dalam jangka waktu cukup lama - seperti yang terjadi sebulan lalu. Dalam hal tersebut air menjadi yang paling dibutuhkan. Penerangan lampu masih bisa diganti dengan lilin, namun air?