Lihat ke Halaman Asli

Satria Widiatiaga

TERVERIFIKASI

Guru Sekolah Alam

Kisah KKN-nya Siswa Stovia di Jaman Hindia Belanda

Diperbarui: 25 Mei 2024   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Interaksi Siswa Stovia dan Masyarakat Sekitar (sumber: senibudayabetawi.com)

Saya mempunyai buku menarik yang berjudul "Panggung Sejarah", sebuah buku yang berisi beberapa Esai tentang sejarah Nusantara. Dimana para penulis esai tersebut adalah orang-orang terdekat dari sejarahwan legendaris asal Perancis, Prof. Dr. Denys Lombard, dan buku kumpulan esai tersebut memang dipersembahkan untuk mengenang jasa-jasa beliau dalam menghimpun data dan informasi sejarah nusantara.

Salah satu esai yang menarik perhatian saya adalah Esai yang berjudul "Sembilan Tahun Di Stovia, 1907 -- 1916". Esai ini ditulis oleh kolega dekat Prof Dr Denys Lombard yaitu Winarsih Partaningrat Arifin. Jika esai lainnya lebih kepada pembahasan sejarah secara komprehensif, maka dalam esai ini justru lebih kepada menampilkan memoar atau catatan penting seorang mantan siswa sekolah kedokteran bumiputera, Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di jaman Hindia Belanda yang bernama Wirasmo Partaningrat. Esai yang disajikan sangat mengalir seperti membaca buku harian atau diary, namun yang menjadi menarik adalah detail-detail kehidupan para siswa Stovia di awal abad 20 tersaji dengan apik dan deskriptif.

Pada artikel ini saya akan mencuplik salah satu bagian kisah dari esai tersebut, yaitu pada bagian saat para siswa Stovia melakukan kegiatan pengabdian masyarakat atau istilah jaman sekarang kita mengenal dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Esai ini terbilang sangat detail jelas mengulas kisah kehidupan siswa Stovia di jaman Hindia Belanda mulai dari latar belakang siswanya, proses pendaftarannya, perploncoannya, pembelajarannya, indekosnya, KKN-nya hingga akhirnya mereka lulus menjadi dokter bagi kaumnya.

Sebelum mengulas kegiatan KKN-nya siswa Stovia, terlebih dahulu kita mengenal sekilas pandang tentang Stovia. Sekolah ini sebenarnya berkembang dari Sekolah Dokter Jawa yang didirikan di berbagai kota besar di jaman itu, jika kita samakan di jaman sekarang, Sekolah Dokter Jawa lebih seperti sekolah kejuruan, tetapi lebih fokus pada kesehatan masyarakat, karena saat itu sering terjadi wabah penyakit, maka tenaga kesehatan dari lulusan Sekolah Dokter Jawa sangat diperlukan sebagai mantra vaksinasi dan pengobatan.  Kita mengenal banyak tokoh-tokoh pergerakan nasional lahir dari rahim Stovia seperti Dr. Soetomo, Gunawan Mangunkusumo dan lain-lain.

Sementara Stovia adalah sekolah lanjutan dari Sekolah Dokter Jawa yang didirikan di Batavia tahun 1851, maka jika disamakan pada jaman sekarang, Stovia seperti Sekolah Tinggi yang dikhususkan bidang kesehatan, gelar lulusannya bukan lagi dokter Jawa, tetapi Inlandsche Arts. Bangunan Stovia kini menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wirasmo Partaningrat

Kita mengenal singkat terlebih dahulu tokoh dibalik esai tentang kehidupan para siswa Stovia ini, yaitu Wirasmo Partaningrat. Dia adalah anak seorang bangsawan Mangkunegaran dari kota Solo, yang disekolahkan ayahnya di Stovia, Batavia. Tidak semua anak priyayi bisa bersekolah di Stovia, karena ada rangkaian tes yang harus dilalui, salah satunya tes kemampuan berbahasa Belanda yang paling tersulit, kebetulan Wirasmo pandai berbahasa Belanda.

Beliau masuk ke Stovia tahun 1907, dimana ia harus menjalani tiga tahun studi persiapan, kemudian dilanjutkan enam tahun studi tentang kedokteran. Suatu masa studi yang cukup lama, namun kelak menghasilkan dokter-dokter pribumi mumpuni dan memompa pergerakan nasional. Di masa studi yang lama tersebut, kegiatan para siswa juga diselingi dengan kegiatan pengabdian masyarakat atau yang kita kenal dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN), apa saja yang mereka lakukan, berikut ulasannya.

Kegiatan Vaksinasi di Weltevreden

Para siswa Stovia mempunyai kegiatan rutin melakukan vaksinasi di sekitaran Stovia yaitu daerah Weltevreden, Batavia. Vaksinasi yang diberikan adalah vaksin kolera dan vaksin anti-tipus, dimana penyakit ini hampir selalu mewabah setiap tahunnya di Batavia, dan merupakan penyakit yang tingkat kematiannya paling tinggi di jaman itu, serta tingkat penyebarannya paling cepat, mengingat sanitasi perkampungan di jaman Hindia Belanda masih belum baik.

Biasanya yang terjun melakukan vaksinasi sebanyak 3 kelas, mereka diberikan latihan selama 1 hari terlebih dahulu, kemudian disebar ke kampung-kampung selama 1 minggu. Uniknya, karena di jaman itu vaksinasi masih baru dimulai, maka uji coba penyuntikan  vaksin dilakukan kepada siswa Stovia sendiri. Diceritakan oleh Wirasmo, hampir semua siswa sama sekali tidak keberatan, karena imbalan dari uji coba penyuntikan vaksin tersebut adalah diberikan makanan tambahan rujak atau gado-gado, dan bagi siswa di jaman itu adalah suatu kemewahan.

Para siswa mempunyai agenda rutin melakukan vaksinasi kepada kalangan pejabat, militer dan tahanan di kota Batavia setiap setahun sekali, dan mereka melakukannya dengan senang hati, karena sekali lagi bayarannya hanyalah tambahan makanan yang dianggap oleh mereka adalah anugerah tak terkira.

Pemberantasan Wabah Pes Di Daerah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline