Banyak artikel dari Kompasianer yang membahas tentang dampak dari mulai teriknya panas matahari di bulan Mei ini yang berimbas pada pertanian dan kesehatan kita sehari-hari. Artikel kali ini akan membahas tentang kebiasaan saya jika mulai menyongsong kemarau tiba.
Kebetulan saya dan istri mempunyai hobi berkebun di lahan rumah kami yang sangat kecil dan terbatas, maklum tinggal di perumahan, dan momen jelang musim kemarau tiba, dimana terik panas mulai menyengat, kami punya kebiasaan 'beberes' atau beres-beres tanaman-tanaman koleksi kami untuk menyambut 'summer time'.
Rumah kami tidaklah besar, hanya 100 M2 saja, namun kami usahakan menyisakan lahan hijau, baik di sisi teras, pagar depan, samping rumah, dan taman kecil belakang.
Sedari awal rumah dibangun, saya menggambar sendiri, tidak 'manut' sama gambar dari developer perumahan, dan mengusahakan beberapa titik bisa untuk lahan hijau.
Tantangan utama kami dalam menyalurkan hobi bercocok tanam adalah kebetulan bagian depan rumah kami menghadapi barat, artinya ketika musim kemarau tiba, durasi terik matahari bisa sangat panjang dan pastinya akan membuat tanaman mudah kering dan mati.
Maka dari itu, setiap bulan April, biasanya kami mulai membereskan lahan hijau kami, agar tanaman-tanaman tetap bisa survive di musim kemarau yang terik.
Dampaknya, beberapa tanaman koleksi kami seperti adenium, lily bawang-bawangan, euphorbia, tapak dara, wijaya kusuma dapat berbunga mekar maksimal di tengah teriknya musim kemarau.
Begitu pula tanaman pangan seperti cabai, tomat, terong juga mulai berbuah siap untuk dipanen, semua itu berkat upaya membereskan lahan hijau menyesuaikan kondisi musim yang akan tiba.
Artikel ini mungkin kiranya cocok untuk bapak ibu sekalian yang mempunyai kondisi rumah yang sama seperti kami, yang buat selonjor saja sulit, namun di sisi lain tetap ingin ada lahan hijau yang bisa ditanami tanaman pangan maupun tanaman hias.