Fase remaja merupakan fase peralihan seorang individu dari tahap anak-anak menuju tahap dewasa. Para remaja umumnya mengalami gejolak perasaan dan pemikiran yang meningkat dengan pesat, sehingga mereka harus senantiasa dibimbing menuju hal positif.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sosok orang tua dan guru diharapkan mampu memberikan pendidikan yang sesuai dengan kondisi perkembangan kejiwaan putra-putrinya, sehingga mereka akan tumbuh dalam kondisi kejiwaan dan mental yang sehat. Maka dari itu, diperlukan konsep pendidikan yang efektif oleh orang tua dan guru kepada putra-putrinya dengan meninjau perkembangan psikis yang mereka alami.
Konsep Pendidikan Ali Terhadap Para Remaja
Mengutip laman kanalsembilan.net, salah satu sahabat sekaligus keluarga Nabi Muhammad Saw. yakni Ali bin Abi Thalib mengemukakan sebuah pendapat bahwa pendidikan anak dikategorikan dalam tiga tahapan, salah satunya adalah tahap dimana seorang anak berada dalam rentang usia remaja (15-21 tahun), maka kita harus mendidik mereka layaknya seorang sahabat.
Mussen dkk. (dalam Nashori,2008) menjelaskan bahwa persahabatan adalah hubungan yang menyangkut keseluruhan pribadi berdasarkan kepercayaan yang mendalam dengan saling membagikan sesuatu, menerima sesuatu, dan merupakan sebuah kesempatan untuk memperluas diri. Sahabat merupakan sosok yang menjadi tempat untuk mencurahkan segala bentuk perasaan, emosional, dan mengeluarkan uneg-uneg.
Tinjauan Ilmu Psikologi
Menurut Sri Nurul Milla selaku Dosen Psikologi Fakultas Agama Islam Univeritas Ibn Khaldun Bogor, terdapat tiga aspek tinjauan umum psikologi perkembangan pada manusia, meliputi perkembangan kognitif (kemampuan otak dalam mengolah informasi), afektif (kemampuan seseorang dalam menyikapi lingkungannya), dan psikomotorik (kemampuan keterampilan gerak). Lantas apakah konsep pendidikan anak yang diterapkan Ali bin Abi Thalib kepada remaja ini sudah sesuai dengan proses perkembangan kejiwaan mereka baik secara kognitif, afektif, ataupun psikomotoriknya?
Menurut Jean Piaget, secara kognitif seorang remaja memasuki tahap perkembangan berfikir secara operasional formal. Mereka mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Para remaja mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen dan karena itu disebut operasional formal. Mereka sudah memiliki pemikiran sendiri terhadap bagaimana ia memandang dunia. Pemikiran yang kompleks ini sering kali membuat para remaja merasa membutuhkan sosok sahabat yang bisa menjadi tempat mencurahkan seluruh pikirannya, maka sudah menjadi tugas orang tua dan guru menjadi pendengar yang baik bagi mereka, bertindak sebagai sahabat dan tidak menyanggah bentuk pemikiran ia secara gamblang.
Sedangkan secara perkembangan afektif, menurut Erik Erikson para remaja masuk dalam tahap identity vs confusion serta tahap intimacy vs isolation. Pada masa ini remaja dihadapkan untuk menemukan eksistensi dirinya (pencarian jati diri). Akan ada berbagai macam gangguan yang harus diatasi agar dapat mencapai identitasnya. Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya ia bergaul dengan lingkungan yang baik, maka akan tercipta identitas yang baik pula. Jika tidak, maka akan terjadi krisis identitas.
Peran orang tua dan guru sangat vital pada usia ini, mereka harus senantiasa memberikan pendekatan, memberikan kasih sayang, mendengarkan mereka sebagai seorang sahabat. Apabila orang tua dan guru memperlakukan mereka sebagai seorang tawanan, yang terus diberikan tekanan dan hukuman, maka mereka akan berubah menjadi sosok yang membangkang, dan melampiaskan seluruh bentuk sakit hati yang didapat dari orang tua atau guru pada hal-hal buruk.
Jika orang tua mampu untuk memperlakukan mereka sebagai sahabat, maka mereka akan bersikap positif dengan mencoba untuk membangun sebuah hubugan erat yang lebih baik lagi. Seorang remaja akan memulai belajar untuk bermasyarakat. Seorang remaja akan tampil sebagai seseorang yang mencintai, memelihara persahabatan, dan pekerjaan, bahkan berbagi dengan orang lain. Sebaliknya jika mereka tidak mendapatkan rasa positif dari orang tua sebagai sahabat, maka anak tersebut akan cenderung mengurung diri (isolation), mengalami rasa trauma terhadap hubungan yang ingin dibangun oleh mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H