Lihat ke Halaman Asli

Bukankah Kita Semua yang "Membunuh" Pribumi?

Diperbarui: 21 Oktober 2017   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suku Mentawai telah hidup di hutan hujan tropis selama ribuan tahun. Kredit foto Sergey Ponomarev untuk The New York Times

Pidato perdana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah mengantarkan polemik baru di Indonesia. Kalimat yang memuat kata "pribumi" menjadi perdebatan pada banyak masyarakat umum. Bahkan penulis buku best seller Assalamualaikum Beijing, Asma Nadia pasang badan membela pidato Anies melalui opininya di Republika.

Kita menganggap diri kita adalah pribumi. Namun aneh, banyak orang mengatakan dirinya seorang pribumi untuk menjustifikasi orang dengan etnis luar adalah non pribumi, yang tentunya mengarah pada tindakan rasisme.

Jauh sebelum saya lahir, atau mungkin kita semua generasi milenial ke bawah ini lahir, kata pribumi merupakan suatu kata yang menggambarkan penindasan. Mengapa penindasan? Pada zaman kolonialisme Belanda, terpampang tempat-tempat ekslusif di Indonesia yang diduduki Belanda dengan tulisan "Verboden voor Honden en Inlander" atau memiliki arti: "Dilarang bagi Anjing dan Pribumi".

Tempat-tempat ekslusif di Indonesia, oleh kolonial Belanda sangat dilarang untuk diinjakan oleh pribumi. Bahkan pribumi disetarakan seperti anjing, dilarang untuk memasuki kolom berenang khusus Belanda, gedung-gedung pertemuan seperti gedung Harmoni, lapangan sepak bola dan tempat-tempat ekslusif dulu. Bahkan tim sepak bola pribumi yang hendak meminjam lapangan pada kolonial Belanda selalu ditolak. Tidak ada bahasa yang sangat rasis seperti bahasa itu pada zaman itu.

Rasisme Belanda ditularkan pada bangsa Indonesia sendiri. Pada zaman Soeharto, orang pedalaman Mentawai dipaksa dan dianiaya untuk mengikuti agama pemerintah. Tidak boleh ada keyakinan di luar agama yang diakui negara. Padahal jauh sebelum bangsa ini lahir, orang-orang Mentawai dan orang-orang pelosok Indonesia lainnya memiliki keyakinan sendiri di luar agama pemerintah. Mereka semua adalah pribumi! Kebudayaan mereka dimusnahkan, ritual tempat mereka menyembah dihancurkan! Lantas sangat mudah kita mengatakan diri kita adalah pribumi sedangkan kita tidak mau menerima kebudayaan pribumi. Padahal, jika kebudayaan mereka menghilang, salah satu hubungan terakhir kita dengan penghuni Indonesia paling awal akan hilang bersamanya.

Nosa Normanda seorang penulis Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri, secara cermat menggambarkan kekejaman pemusnahan budaya pribumi tersebut. Orang-orang pedalaman Mentawai dipaksa untuk mengakui agama negara. Pilih Islam atau Kristen? Itu hanya jadi dua pilihan bagi pribumi saat itu. Orang pedalaman Mentawai akhirnya memilih Kristen sebagai agama baru mereka, karena pada agama Islam dilarang memakan babi, karena babi saat itu menjadi bahan ritual mereka. Masyarakat animisme Indonesia yang menolak agama versi pemerintah akan terus mengalami penjajahan pasca kemerdekaan.

Apakah kita tidak malu menyebut diri kita pribumi tetapi tidak mengakui kebudayaan pribumi? Lantas apa bedanya dengan Amerika?

Soal Amerika, di suatu hari, Nosa menulis lelucon Slavoj Zizek, "Waktu saya ke Montana untuk mengunjungi rumah kelahiran sutradara favorit saya, David Lynch, saya bertemu orang... Native American. Salah seorang dari mereka bilang pada saya, 'Kami sebenarnya lebih suka dipanggil dengan sebutan Indian, karena itu adalah monumen kegoblokan orang kulit putih.'"

Saya tidak bermaksud mengatakan kita semua goblok. Tapi cuma menginginkan sudahi segala kegaduhan yang bersumber dari perbedaan kayakinan. Bukankah orang tidak goblok akan dapat membedakan antara memperjuangkan keyakinan dan memperjuangkan politik praktis.

Kembali ke Asma Nadia, dengan lantang ia mengatakan ketika Anies mengucapkan kata pribumi, "mereka yang merasa diri pribumi tahu sedang dibela, sedangkan yang merasa berbeda (non pribumi) tentu tidak bisa mencegah perasaan tersisihnya." Opini Asma Nadia tersebut dapat saya tuding tidak memiliki riset sama sekali.

 Lantas mengapa Anies dilaporkan lantaran ucapan pribumi tersebut, ini karena para pelapornya mengetahui bahwa ada produk hukum di Indonesia yang melarang menggunakan istilah pribumi bagi pejabat negara. Harusnya kita bangga pelapor menempuh jalur hukum yang dikehendaki dalam tatanan demokrasi ini, sama dengan kebanggaan kita bagi aksi bela Islam yang menempuh aksi demonstrasi sebagai suatu jaminan kebebasan berpendapat yang tertuang dalam konstitusi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline