Lihat ke Halaman Asli

Istirahatlah Status-status

Diperbarui: 2 Februari 2017   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

shutterstock.com

Hariini saya datang mengabarkan kemenangan media sosial yang telah menarik paksa keramah-tamahan budaya ketimuran yang kita miliki. Suatu warisan budaya dengan nama toleransi telah ditumbangkan melalui sampah-sampah artifisial yang diserakan pada masing-masing media sosial.

Nutrisi bernama kebencian telah kita santap sebagai suatu sianida pada hari-hari kita. Sampah artifisial itu kita jumpai hampir di setiap group yang ada di media sosial. Hujatan, terror, caci maki, seperti mengatakan bahwa kita adalah bangsa Barbar yang bernomaden pada masing-masing group untuk menciptakan terror, dan dengan menggunkan topeng kesalihan seakan menjadi produk dagangan.

Orang-orang yang menjual konten demi mendapatkan pundi-pundi google adsense memelihara dendam kita dengan baik untuk sebuah bisnis. Hanya dengan sentuhan judul yang apik, konten mereka diklik untuk memasuki arena pertempuran.

Persetan dengan cover both side atau praduga tak bersalah. Kedunguan kita akan membuat mereka kenyang. Hampir setengah dari jumlah pengguna media sosial menyebarkan suatu berita dengan alasan judul yang menarik. Meskipun tidak membaca isi dan menguji kebenaran berita tersebut.

Mengapa itu terjadi? Karena bangsa kita menghadapi dinamika yang sifatnya sirkular, bukan linear. Dinamika arus global berkembang begitu sangat pesat tanpa ada persiapan dari bangsa kita. Di zaman orde lama, bacaan diperkenalkan oleh rezim. Pada zaman orde baru, bacaan dimusnahkan, buku-buku dibredel, bahkan ide dibungkam dan dibunuh.

Transisi reformasi mengembalikan budaya membaca seperti orde lama. Namun sayang, buku-buku bacaan yang diperkenalkan di reformasi ini disertai jejak-jejak internet dan audio visual. Tidak ada tempat untuk basis budaya membaca kita. Tawaran praktis dengan tatanan konten yang menarik membuat daya baca kita menjadi lemah, sehingga dengan mudah berita hoax meracuni kita.

Melihat situasi masyarakat yang cepat terpengaruh dengan konten palsu, disertai dengan geliat netizen mengkonsumsi habis berita hoax, maka jurus “politik kebodohan” digunakan. Sahabat saya Nosa Normanda pada tulisannya mengatakan, Konstelasi politik kita pasca 1965 memang selalu mengikuti Amerika – Ketika Amerika pintar kita ikut macam orang bodoh yang mau belajar, dan ketika Amerika bodoh seperti sekarang ini, kita seperti tak mau kalah: kita buat kebodohan jadi populer. Orang-orang yang selama ini kita anggap becandaan, tiba-tiba naik ke ranah politik mainstream. Sebut saja tokoh yang saat ini familiar di Amerika, dan juga salah satu tokoh ormas yang saat ini familiar di Indonesia.

Keduanya masuk ke ranah politik mainstream ketika masyarakat mudah terdoktrin setiap berita yang disajikan di internet. Tidak hanya media hoax. Media mainstream pun tidak luput menggunakan jurus jitu untuk menarik pembaca. Pilihan angle yang kontroversi disajikan untuk mendapat ribuan klik. Jurus framing berita disajikan untuk menciptakan opini publik. Hasilnya, karakter Pandawa dan Kurawa dapat dihadirkan hanya dengan memframing setiap berita.

Hingga saya berpikir untuk tidak melanjutkan tulisan ini. Karena judul ini tidak akan laku pada konsumen. Judul ini tidak menyebutkan Ahok, Habib Rizieq atau pun Firza Husein, sehingga bukan menjadi menu favorit bagi netizen. Oleh sebab itu saya beristirahat untuk menuliskan kata-kata...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline