Lihat ke Halaman Asli

Kompasiana, Hak Tolak Jurnalis, dan Ancaman Sekitar

Diperbarui: 15 Juni 2016   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: kerjayuk.com

Pernahkah anda membaca cerpen berjudul ‘Langit Makin Mendung?’. Ya, cerpen tersebut adalah cerpen yang paling kontroversial pada tahun 1948. Cerpen yang diterbitkan majalah Sastra tersebut, ditulis oleh orang dengan nama pena Kipandjikusmin, menceritakan Allah, Muhammad, dan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk menyelidiki mengapa manusia banyak yang tidak masuk surga.

Imbas dari cerpen tersebut, menyebabkan kantor Sastra di Jakarta diserang massa. Tidak sampai di situ, kepala editor Sastra, Hans Bague Jassin diadili di pengadilan dengan tuduhan penistaan agama.

Yang menarik dari peristiwa ini bukan soal tuduhan penistaan agama, namun implementasi terhadap hak tolak jurnalis tersebut. Jassin rela dihukum demi tidak mengungkap siapa sebenarnya orang dibalik nama pena Kipandjikusmin tersebut.

Dalam pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa:

(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Kemudian dalam pasal 1 angka 10 UU Pers disebutkan: “Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Itu adalah dasar hukum hak tolak yang dimiliki jurnalis. Namun perlu diketahui bahwa hak tolak yang dimiliki jurnalis tidaklah mutlak. Hak tolak dapat dibatalkan pengadilan, sebagaimana tertuang dalam penjelasan pasal 4 UU Pers disebutkan, “Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.”

Dalam pasal 221 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pada pokoknya mengatur bahwa barang siapa yang dengan sengaja: (i) menyembunyikan pelaku kejahatan atau orang yang dituntut karena kejahatan; atau (ii) memberi pertolongan kepada pelaku kejahatan untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang, dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal sembilan bulan penjara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline