Lihat ke Halaman Asli

Degradasi Pasca Reformasi

Diperbarui: 24 Mei 2016   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: edukasi.kompas.com

Pada pukul 09:00 WIB, tanggal 21 Mei 1998 panggung politik Indonesia mengalami perubahan. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Hiruk-pikuk kegembiraan Aktivis Mahasiswa yang bertumpah di Jakarta mengalami puncaknya. Meskipun 6 bulan kemudian masih harus melewati tragedi demi tragedi lainnya (Tragedi Semanggi). Transisi menuju Reformasi memang lahirkan kegembiraan sekaligus kecemasan. Bangsa ini tidak ingin sisa-sisa kroni Orde Baru melanjutkan estafet pemerintahan era sebelumnya.

Di sana dapat kita lihat bahwa konflik tidak hanya bermakna negatif, akan tetapi konflik juga lahirkan hal yang positif, contohnya Reformasi. Selama 32 tahun kita mengalami tragedi demi tragedi. Puncaknya pada 21 Mei 1998. Pemerintahan Soeharto memang prioritaskan stabilitas dalam negeri, sehingga menunjuk ABRI menjadi kaki tangannya, misalnya untuk menjadi gubernur, bupati, rektor, sampai kepala desa, selalu dari unsur militer.

Namun di Orde Reformasi ini, tampaknya bukan cuma hukum dan politik saja yang mengalami perubahan, akan tetapi semangat mahasiswa masa kini juga mengalami suatu degradasi visi intelektual yang akut. Jika dulu melihat suatu ketimpangan maka semua elemen mahasiswa akan melakukan agitasi perlawanan, namun kini, agitasi aktivis ibarat dagang obat di pasar, didengar namun tidak dibeli.

Mei 2016 ini, merupakan momentum refleksi 18 tahun Reformasi. Namun tidak semua cita-cita Reformasi dapat dipenuhi, masih saja terjadi stagnasi tuntutan Reformasi tersebut. Supremasi hukum misalnya, kebanyakan dijadikan ajang pencitraan semata. Konsep Bantuan Hukum Struktural hanya dilakukan LSM tertentu saja. Mahasiswa sebagai agen perubahan diterpa arus badai globalisasi yang memicunya menjadi konsumtif. Organisasi Kemahasiswaan internal (dalam kampus) berubah arah menjadi kuli program, yang hanya bekerja ketika memperoleh stimulus dana. Sedangkan organisasi eksternal (luar kampus) berubah menjadi ajang mencari link untuk tiket kerja dengan membangun pondasi emosional bersama alumni organisasi yang ada dalam pusaran birokrasi maupun kekuasaan.

Kampus kini berubah fungsi menjadi swalayan favorit yang menyajikan menu utama yaitu ijazah. Basis budaya baca mengalami krisis pasca masuknya arus internet. Mahasiswa yang dulunya menjadi momok yang menakutkan bagi birokrasi ataupun elit politik, kini berubah menjadi mitra setia. Kausalitas awal (sebabnya) tentu karena stimulus. Stimulus tidak hanya berupa uang, tetapi hubungan emosional maupun janji.

Dari sisi kualitas dan kuantitas, memang organisasi mahasiswa sukses, baik dalam perekrutan anggota maupun transfer keilmuan. Hanya saja implementasi keilmuan tersebut sulit terlaksana. Idealis dan sikap antikorupsi hanya ada dalam lingkaran diskusi semata. Anehnya lagi, masih banyak organisasi yang mendapat suntikan dana dari pemerintah, sedangkan tugasnya sebagai agen kontrol kinerja pemerintah. Saya tidak menyebutkan ini adalah suatu standar ganda, tetapi hal ini dapat memicu conflict of interest.

Parpol kini memegang wacana yang menarik. Buah dari kecerdasannya yang mampu tundukan mahasiswa. Tidak gunakan langkah represif, namun justru persuasif. Mahasiswa dibangunkan wadah untuk berhimpun dan tetap dalam akar partai, jadilah mahasiswa underbow partai. Jika telah menjadi milik partai, maka khitah mahasiswa bukan lagi sebagai agen kontrol kebijakan, namun menjadi humas partai tempat berafiliasinya.

Mahasiswa umum (non organisasi) juga berubah wujud, metode berpikir kritis kini telah hilang. Refrensi utama mahasiswa adalah refrensi yang diberikan dosen. Tidak ada upaya kritis untuk mengkajinya. Sistematisasi ilmu tidak masuk, momen membaca dilakukan ketika sebentar lagi akan menghadapi ujian. Ketika kuliah kosong, tema diskusi tentang film baru di Cinema XXI dan naiknya tarif salon kecantikan. Seandainya René Descartes masih hidup, tentu sangat galau karena metode berpikirnya dikesampingkan.

Bahkan banyak dosen turut serta dengan penyakit yang dihadapi mahasiswa, khususnya pada bidang ilmu non eksak. Mereka tidak turut mengikuti perkembangan ilmu yang dinamis. Coba tanyakan dosen hukum Anda: “PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang apa?” Banyak yang tidak mengikuti perkembangan ilmu yang sangat dinamis ini.

Saatnya kita cukupkan untuk membanggakan masa lalu gemilang tokoh idola kita, mulailah membangun dari sekarang, jika tidak ingin ditelan arus globalisasi. Mohon untuk tidak tersinggung terhadap artikel penulis ini. Karena ini juga kritikan terhadap diri penulis sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline