Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kritik Mengalami Peyorasi Makna, Masih Perlukah Mengkritik Kepolisian?

Diperbarui: 18 Mei 2016   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: beritakotametro.co.id

Melihat dinamika yang berkembang di masyarakat saat ini, penulis menemukan suatu peristiwa yang sangat urgensi dalam dinamika masyarakat kita saat ini, yaitu penilaian terhadap baik dan buruk. Penekanan pada tulisan ini, penulis memberikan satu contoh lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian. 

Penulis ingin setiap yang membaca artikel ini menjawab dalam hati satu pertanyaan penulis yang sederhana ini: “Kinerja Kepolisian dalam kacamata Anda baik atau buruk?

Mungkin penulis sedikit menebak, ada yang menjawab buruk dan ada pula yang menjawab baik. Tergantung penilaian secara subjektif masing-masing orang. Mungkin pula lebih banyak yang menjawab buruk, dan mungkin pula lebih banyak yang menjawab baik. Namun ketika penulis mencoba mengganti pertanyaan dan bertanya pada Anda: “Antara Kepolisian dan KPK mana yang kinerjanya baik?” Hati kecil Anda tentunya tidak dapat berbohong, menempatkan KPK pada urutan terbaik, kecuali ada suatu hubungan emosional antara Anda dan polisi.

Pada masa kini yang banyak sekali diberikan apresiasi adalah KPK, karena integritas dan elektabilitas yang cukup baik di mata masyarakat. Degradasi kepercayaan pada Kepolisian semakin mengantarkan polisi pada ketidakpuasan masyarakat. Pembagian penilaian antara baik dan buruk penegak hukum di atas menyebabkan suatu konsekuensi logis antara yang diberi apresiasi dan pujian, dan yang diberi kritikan bahkan hujatan.

Untuk membangun kepercayaan masyarakat kembali tentu tidak semudah kita bernapas saat ini, apalagi ada lawan pembanding yang rating kepercayaan masyarakat padanya cukup besar. Kritik terhadap kinerja Kepolisian abad 21 ini cukup besar, karena sering mendapatkan banyak kritik maka premis yang ada di masyarakat adalah melihat terbukanya celah kekurangan pada objek yang sering dikritik. Fatal lagi justru kritik saat ini terjadi peyorasi makna.

Peyorasi artinya perubahan makna dari hal yang sebelumnya positif menjadi hal yang lebih tidak enak atau negatif. Misalnya kata perempuan yang dulu maknanya adalah ‘yang menjadi tuan’ kini terjadi peyorasi pada hal yang tidak enak. Misalnya untuk menegur teman pria yang kekurangan semangat, sering disebut: “Kamu kok seperti perempuan!” Begitu juga dengan makna ‘kritik’ yang dulunya memiliki arti pertimbangan antara baik dan buruk terhadap suatu hasil, kini terjadi peyorasi menjadi ‘kecaman’.

Kita sedikit harus mengubah pola menjadi suatu trigger mechanism (cambuk pemicu kinerja), menyesuaikan dengan peyorasi makna kritik tersebut. Ketika Kepolisian mendapat ruang kritik yang besar dan minim ruang apresiasi terhadap kinerja positifnya, maka hal itu tidak akan mengubah suatu keadaan. Saya berikan suatu ilustrasi: Jika di ruang kelas cuma ada 2 murid, murid A dan murid B. Ketika murid A selalu medapatkan apresiasi dari guru dan murid B selalu mendapatkan kritikan dari guru, maka justru murid B akan mengalami degradasi minat untuk sekolah, bukan menjadi pemicu untuk semakin rajin belajar. Berbeda ketika di ruang kelas hanya ada satu murid, maka jika dikritik tanpa ada perbandingan dengan murid lainnya, akan berusaha optimal untuk belajar.

Kita harus sedikit mencoba memberikan apresiasi secara masif terhadap hal positif yang dilakukan polisi. Masyarakat kita saat ini memiliki suatu asumsi bahwa hal positif yang dilakukan polisi adalah wajar karena sudah tugasnya, justru lembaga penegak hukum lain hujan apresiasi. Perlu dipahami, pemicu agar kinerja seseorang atau lembaga menjadi baik, tidak hanya datang dari kritik, tapi juga datang dari apresiasi yang diberikan kepadanya.

Ketika Kepolisian mendapatkan apresiasi atas kinerja positif yang dilakukan, maka apresiasi tersebut akan melekat padanya. Mereka sangat ketakutan jika apresiasi tersebut akan hilang, dan tentunya akan menjaga apresiasi yang diberikan. Hal ini bukan saja pada polisi, tetapi juga pada semua orang. Karena apresiasi adalah pujian sekaligus kepercayaan. Berbeda ketika kita memberikan kritik, yang dilihat adalah ruang kekurangan. Padahal kritik dan apresiasi adalah sama-sama bertujuan untuk kebaikan, tetapi perbedaanya apresiasi melihat nilai positif dan kritik melihat hal negatif untuk merubah ke arah positif.

Orang yang diberikan apresiasi akan berusaha untuk menjaga labelisasi positif tersebut. Sebaliknya orang yang diberikan kritik dengan adanya objek perbandingan akan merasa sulit untuk merealisasikan kinerja ke arah positif. Padahal tujuan kritik dan apresiasi sama-sama untuk kebaikan.

Dalam Ilmu Kriminologi, dikenal suatu 'teori label'. Di mana terhadap suatu kejahatan atau melanggar nilai-nilai masyarakat maka pelakunya akan diberi label buruk di mata masyarakat. Konsekuensi dari label yang diberikan pelaku, maka gerak-gerik pelaku selalu dicurigai masyarakat. Misalnya orang yang pernah melakukan pencurian, maka akan diberi label sebagai pencuri. Konsekuensinya walaupun pasca hukuman berakhir, gerak-geriknya akan diawasi masyarakat. Seseorang yang diberi label akan beranggapan bahwa percuma saja hal positif yang dilakukannya, tidak akan merubah labelisasi pada dirinya. Maka jika kebaikan yang dilakukan namun labelisasi buruk tetap melekat pada dirinya, orang tersebut tentu akan kembali merealisasikan label yang diberikan (menjadi pencuri), karena merasa percuma hal positif yang dilakukan namun tidak diapresiasikan orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline