Lihat ke Halaman Asli

Phronemophobia Aparat dan Buku Kiri

Diperbarui: 15 Mei 2016   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: justibelen.wordpress.com

Melihat fenomena peristiwa nasional sekarang ini, tersentuh hati kita terhadap peristiwa penyitaan buku-buku bacaan kiri yang dilakukan oleh aparat. Sebuah kausalitas dari maraknya simbol-simbol Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dinilai aparat merupakan manuver kebangkitan partai terlarang tersebut. Asumsi pribadi saya tidak mengarah pada ketakutan aparat terkait kembalinya suatu ideologi lama yang dinilai ekstrem dan masuk pada tinta kelam sejarah bangsa kita, melainkan sebuah phronemophobia aparat.

Jika membaca artikel Nosa Normanda berjudul “Phronemophobia Indonesia”, dalam tulisan tersebut phronemophobia diartikan suatu ketakutan untuk berpikir. Sepintas korelasi antara penyitaan buku oleh aparat dan ketakutan untuk berpikir cukup jauh, namun sebenarnya ada hal yang substantif mempengaruhi kausalitas terjadinya penyitaan tersebut, kita akan mengulasnya di bawah.

Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa bangsa ini sangat menghargai buku, terlihat dari 2 momen tanggal yang digunakan sebagai hari buku, 23 April diperingati sebagai Hari Buku Sedunia, dan tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional. Nosa Normanda juga dalam artikel berjudul “Badut Zarathustra dan Labirin Ruhlelana (bagian I)” menyebutkan bahwa bangsa ini dihadapi dinamika yang sifatnya sirkular, bukan linear, dinamika arus global berkembang terus pesatnya, tanpa ada persiapan dari bangsa ini. Budaya membaca yang diperkenalkan pada zaman Orde Lama tiba-tiba pada masa Orde Baru bacaan tersebut dimusnahkan, buku-buku diberedel, manusia dibunuh, bahkan ide turut dibunuh. Transisi Reformasi mengembalikan khazanah ilmu bacaan yang terbunuh Orde Baru, namun sayang sungguh sayang, buku-buku bacaan yang kembali disertai jejak internet dan audio visual yang menyeruak masuk hingga tidak sempat ada basis budaya baca.

Menurut Nosa, kita seperti terjebak pada gurun peradaban, setiap pasir menghisap dan mengaduk-aduk kita, “dan kita memilih butiran demi butiran diri yang asalnya tak jelas dari patung tiran mana, kitab buatan siapa, atau debu mayat Julius Caesar atau rambut Nyi Roro Kidul yang tercampur jembut Farah Quinn. Mencoreng wajah kita dengan tanah liat yang diklaim dari Adam hingga seakan-akan kita memakai topeng kesalihan agama-agama semit yang kita anggap wajah kita. Semua jadi komoditas, bisa dijual dan dipakai secara materi atau sebagai modal simbolik untuk menundukan orang yang lebih tolol. Semua jadi permainan kuasa, perang klaim atas simbol-simbol suci yang sesungguhnya tak lebih dari barang dagangan.”

Sistem membaca yang tidak sistematis akibat era internet, tiba-tiba dibalas lagi dengan peristiwa penyitaan buku-buku kiri yang dilakukan aparat, ini bukan hanya mengembalikan kita pada era Orde Baru Sang Pembunuh Ide, namun sisa-sisa kotoran Orde Baru yang bercampur dengan kuman-kuman transisi Reformasi telah dihidangkan untuk kita santap sebagai suatu sianida pada tubuh kita, dan menyelupkan kepala kita pada peradaban kelam postmoderen layaknya Merneptah, Sang Firaun Mesir yang tenggelam dalam pengejaran eksodus bangsa Yahudi.

Relasi penyakit malas berpikit (phronemophobia) dengan penyitaan buku tersebut sedikit memiliki rantai, aparat justru memperlihatkan budaya takut berpikir, buku kiri sudah dianggap suatu kontra nasionalis yang akan menjadi hama dalam tatanan demokrasi pancasila Indonesia. Penilaian terhadap suatu kausalitas hanya terlihat dalam premis “akibat”, yaitu Pemberontakan G30S PKI.

Jika membaca artikel Reza A.A Wattimena berjudul “Mendidik Dendam” kita disuguhi akar dari dendam itu sendiri, yaitu “amarah dan rasa takut”. Amarah muncul karena antara id dan ego (keinginan dan realisasi keinginan) tidak sejalan dengan kenyataan, sedangkan rasa takut muncul karena ketidakpastian dari kehidupan itu sendiri. Tegangan antara yang ada (das sein) dan yang seharusnya ada (das sollen) menghasilkan rasa sakit dunia (weltschmerz), padahal dendam pada intinya adalah “kosong”. Kesalahan berpikir yang menyebabkannya ada. Intinya adalah bagaimana untuk melatih pikiran tersebut sehingga dendam yang sejatinya kosong tersebut tidak pernah hadir.

Namun, bagaimana ketika kita menjustifikasi aparat mengidap suatu penyakit phronemophobia, jika justru aparat tidak pernah berhasrat untuk berpikir? Bahkan membaca buku kiri saja tidak pernah? Tentu ini adalah justifikasi negatif, yang sifatnya subjektif dan meremehkan. Apa yang ditakuti aparat tentunya telah mereka pelajari sehingga ketakutannya tersebut direalisasikan dalam bentuk penyitaan buku-buku kiri. Namun, patut kita bertanya, apakah dalam buku-buku kiri mengajarkan hal negatif?

Saya rasa suatu kesalahan yang fatal jika negatif atau positif, benar atau salah, dan baik atau buruk buku-buku kiri diukur dari premis-premis moral yang diratifikasi oleh negara kontra (kapitalis), karena premis moral untuk menjadi parameter baik dan buruk tentu dinilai dari premis subjektif. Sangat tidak mungkin negara kapitalis akan menganggap ideologi yang ideal adalah komunis atau sosialis. Sedangkan justru premis kapitalis dalam menjustifikasi komunis tersebut dari persaingan ekonomis, bukan seperti kita yang menjustifikasi komunis dari masa kelam (pemberontakan). Kita harus sepakati bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang komunal. Konsekuensi dari masyarakat komunal adalah tidak bersifat individual. Penegasannya adalah kebersamaan, tentu sangat berbeda dari negara individual (kapitalis).

Budaya malas berpikir aparat ingin dijangkiti pada masyarakat. Aparat tidak betul-betul memahami susbstansi nalar yang ada pada buku merah (kiri). Jika ingin mencegah kebangkitan PKI, tentu mata rantai yang diputuskan bukan melalui buku-buku kiri. Buku-buku kiri mengajarkan untuk memahami filsafat kiri (materialis, dialektika historis...) yang merupakan eksistensi dari ilmu pengetahuan yang diakui dunia, bukan hanya Indonesia. Pertanyaannya, idealkah kita menghapus ilmu pengetahuan yang diakui dunia? Tentu itu adalah kebodohan yang masif.

Kemudian jika berbicara masa lalu yang suram dari gerakan PKI dan mengakui momen saat ini untuk membangkitkan gerakan itu lagi, tentu mindset aparat stagnasi (jalan di tempat). Hal itu karena aparat jarang membaca buku-buku kiri sekaligus memiliki penyakit takut berpikir. Karena jika telah memahami totalitas yang ada dalam buku kiri, tentu tidak semudah bernapas orang-orang kiri akan bangkit dan mengulangi pemberontakannya. Lihat saja pemberontakan PKI yang terjadi di masa lalu karena nama PKI begitu besar, menjadi partai dengan perolehan suara tidak bisa dianggap remeh, memiliki ribuan simpatisan dengan beragam organisasi sayap, dan melahirkan pemberontakan yang menurut Tan Malaka tidak teratur/sistematis. Alangkah lucu jika aparat menilai momen saat ini adalah kebangkitan PKI, di mana jangankan partainya, batang hidung tokohnya pun tidak ada satu pun yang pernah ada saat ini. Sangat aneh!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline