Aparat Kepolisian akhir-akhir ini gencar untuk menghalau penyebaran ideologi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI). Berbagai atribut PKI seperti baju, bendera, dan simbol-simbol lainnya disita polisi. Uniknya buku-buku kiri turut disita kepolisian, hampir sama dengan cara Rezim Orde Baru dulu.
Entah apa urgensi Aparat Kepolisian dalam dalam melakukan penyitaan, yang jelas buku yang merupakan sumber ilmu pengetahuan sangat disayangkan untuk disita atau diberedel. Kasus ini mengingatkan kita pada beberapa kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia, sebut saja kasus cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” yang diterbitkan Majalah Sastra dengan nama pena Kipandjikusmin pada bulan Agustus 1968, tulisan tersebut dilarang beredar karena dinilai melecahkan suatu keyakinan keagamaan, bahkan Kepala Editor Majalah Sastra, HB. Jassin harus diadili karena menolak mengungkapkan siapa sebenarnya penulis asli karya kontroversial tersebut, hak tolak jurnalis digunakan seefektif mungkin.
Sebuah buku tentunya tidak hanya sebagai ajang pencucian otak manusia untuk mengikuti jejak-jejak dalam setiap coretan tinta pada kertas-kertas yang ada dalam buku tersebut, namun sebagai suatu tetesan khazanah keilmuan untuk pembaca. Pembaca bisa saja menjadikan ajang perbandingan dalam substansi yang ada dalam buku tersebut.
Sangat aneh ketika ilmu pengetahuan diberedel dengan alasan penyebaran ideologi terlarang, justru hal tersebut akan memicu tanda tanya pada masyarakat, apa sebenarnya yang selama ini ditakuti itu. Jika negara memberi cap PKI sebagai musuh bangsa, seharusnya masyarakat juga bebas mengetahui apa sebenarnya PKI tersebut. Jangan memaksakan masyarakat untuk memusuhi apa yang mereka tidak ketahui.
Jika PKI dicap terlarang karena gerakan pemberontakan dan pembunuhan jenderal, mengapa kita tidak memberi cap terlarang pada Partai Rezim Orde Baru yang memimpin lebih dari 30 tahun dengan tangan penuh darah? dengan banyaknya nyawa yang hilang dan bahkan tidak ditemukan pusaranya hingga saat ini?
Akan tetapi terlepas dari itu semua, fatal kiranya jika buku-buku kiri atau berbau Komunisme, Leninisme, dan Marxisme ikut diberedel, karena di setiap buku-buku tersebut mengandung ilmu pengetahuan, baik dan buruk fakta yang tertuang dalam buku tersebut, masyarakat punya hak untuk mengetahuinya. Bukankah produk hukum buatan penjajah pun hingga saat ini masih kita gunakan? mengapa kita tidak demokratis dalam berdemokrasi?
Penyitaan buku-buku kiri menggambarkan maindset feodal, konvensional dari Aparat Kepolisian. Kalau mau berterus terang, substansi pada buku-buku kiri tidak semua dimengerti oleh Aparat Kepolisian kita, sehingga paradigma feodal itu tidak seharusnya ditularkan ke masyarakat kita.
Singkatnya yang bisa saya harapkan pada para pelaku penyitaan buku-buku kiri, biarlah masyarakat mengetahui apa sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada pada buku tersebut, sehingga dapat dijadikan perbandingan oleh masyarakat kita. Jangan menganggap masyarakat kita layaknya seorang yang berada di bawah pengampuan dan harus terus dibimbing. Masyarakat saat ini sudah cerdas dan lebih cerdas dari pelaku penyitaan, untuk itu stop penyitaan buku-buku kiri “entah apa” urgensi di balik itu semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H