Lihat ke Halaman Asli

Tindakan Sonya Cuma Psikologi Terbalik, Netizen Diimbau Tidak Mem-bully

Diperbarui: 8 April 2016   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="foto: agitasinews.wordpress.com"][/caption]Sonya Depari menjadi korban bully di sosial media akibat perdebatannya dengan Polantas Medan saat mengamankan konvoi coret-coretan setelah berakhirnya UN SMA. Sonya terlibat perdebatan dengan Polwan yang memberhentikan konvoi tersebut.

Dalam perdebatan, Sonya mengaku bahwa ia adalah anak Irjen Arman Depari yang menjabat Deputi BNN. Belakangan diketahui bahwa pernyataan Sonya tidak benar sehingga netizen ramai-ramai melakukan bully terhadapnya, bahkan ayah kandungnya meninggal dunia akibat serangan jantung. Namun, Arman Depari ternyata memang keluarga Sonya, merupakan paman dari Sonya.

Tindakan Sonya ini tidak lain adalah Psikologi Terbalik (reversed psychology) yang sering dialami banyak orang. Psikologi Terbalik adalah teknik “memaksakan pengertian” sedemikian rupa sehingga target melakukan tindakan yang berlawanan daripada yang didiktekan.

Dalam perdebatan antara Sonya dan Polwan, Sonya sempat mengatakan, “Oww mau dibawa? Oke mau dibawa, siap-siap….” Dari pernyataan tersebut seakan-akan Sonya menerima tindakan yang dilakukan Polisi terhadap dirinya, namun itu semua tidak lain agar target (polisi) melakukan tindakan yang berlawanan dengan kehendak awalnya, yaitu tidak membawa Sonya.

Contoh sehari-hari dalam menggunakan psikologi terbalik misalnya seorang pengendara motor yang ditilang polisi, trik psikologi terbaliknya akan mengeluarkan pernyataan ini kepada polisi, “Ow, bapak mau nilang saya, ayo tilang! Tapi jangan nyesal!” atau ucapan yang terdengan seperti ini, “Ayo tembak! Tembak saya kalau berani!” Kalimat tersebut adalah psikologi terbalik.

Perbuatan Sonya sebenarnya tidak perlu mendatangkan bully dengan alasan apa pun, apalagi Sonya masih labil dalam usianya yang baru akan tamat SMA. Netizen pun pernah melakukan hal semacam itu (psikologi terbalik). Dalam mengakui diri sebagai anak jenderal, sanksi yang diterima melalui publikasi media sudah cukup untuk menjadi efek jera, tidak perlu lagi melakukan bully terhadap dirinya. Jika neitizen terus-terusan melakukan bully, sama saja wataknya dengan korban bully itu sendiri, apalagi bully berimbas pada serangan jantung yang menimpa ayah korban, hal itu sangat fatal dan tidak pantas.

Netizen atau kita semua tentunya pernah melakukan psikologi terbalik sehingga mem-bully dengan kasus yang hanya seperti di atas tentu sangat mengecewakan. 

Catatan: artikel ini sebelumnya telah diunggah dalam website penulis, di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline