[caption caption="Ilustrasi: news.liputan6.com"][/caption]Peninjauan Kembali (PK) akhir-akhir ini telah begitu dikenal masyarakat luas, hal itu disebabkan karena media seringkali memberitakan tentang PK. Seperti diketahui bahwa upaya hukum ada dua jenis, jenis pertama adalah upaya hukum biasa yang meliputi banding, kasasi dan verzet, sedangkan jenis kedua adalah upaya hukum luar biasa yaitu PK.
Banding merupakan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang tidak puas atas putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) yang diajukan ke Pengadilan Tinggi, sedangkan kasasi adalah pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan hakim yang berada di bawah MA, karena putusan itu menyalahi dan tidak sesuai undang-undang, sedangkan verzet adalah upaya hukum terhadap putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhi hakim tanpa kehadiran tergugat, dan PK adalah upaya hukum untuk memeriksa kembali putusan pengadilan di lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun MA yang telah berkekuatan hukum tetap.
Masyarakat menjadi heboh dengan pemberitaan PK, dimana terjadi perseteruan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan MA sendiri, pasalnya terkait permohonan mantan ketua KPK, Antasari Azhar untuk memperoleh PK atas kasusnya, MK kemudian mengabulkan permohonan Antasari, namun sebelumnya permohonan PK yang intinya sama diajukan oleh keluarga almarhum Nasrudin Zulkarnaen namun ditolak MK, sehingga menjadi alasan MA melakukan protes terhadap putusan MK dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang menegaskan PK hanya satu kali.
Namun pada intinya penulis akan membahas sejarah lahirnya PK yang penuh dengan haru biru pencari keadilan (justitiabelen) itu sendiri, mereka adalah Karta dan Sengkon. Nama Karta dan Sengkon begitu familiar di kepala orang yang berprofesi di bidang hukum, karena kasus yang menimpa mereka yang menjadi alasan hadirnya PK di Indonesia ini.
Kasusnya bermula pada tahun 1974 di Bojongsari Bekasi, dimana terjadi perampokan dan pembunuhan pasangan suami-istri bernama Sulaiman dan Siti Haya, kemudian polisi menangkap Karta dan Sengkon yang diduga kuat adalah pelakunya, ketika digelandang ke kantor polisi Karta dan Sengkon di interogasi oleh penyidik dan kemudian dipaksa untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang pada intinya memaksa mereka mengakui perbuatannya. Merasa tidak pernah melakukan pembunuhan, Karta dan Sengkon tidak mau menandatangani BAP tersebut, sehingga penyidik kepolisian menyiksa mereka dan memaksa menandatanganinya, tidak kuat dengan penyiksaan itu kemudian mereka akhirnya menandatangani BAP tersebut.
Oktober 1977 majelis hakim yang tidak percaya dengan kesaksian mereka akhirnya menjatuhkan vonis, Karta divonis 7 tahun penjara dan Sengkon divonis 12 tahun penjara. Di dalam penjara mereka bertemu Genul yang masih memiliki hubungan keluarga (keponakan) dengan Sengkon, Genul yang sebelumnya lebih dahulu masuk penjara akibat kasus pencurian akhirnya mengakui bahwa dialah pembunuh suami istri tersebut.
Pengakuan Genul tersebut tentunya menjadi bukti baru (novum) terhadap kasus yang menimpa Karta dan Sengkon, sehingga pada tahun 1980 Genul dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, namun anehnya dengan sistem hukum positif di Indonesia, walaupun pelaku sebenarnya sudah ditangkap, Karta dan Sengkon tetap mendekap dalam hotel prodeo (gratis), dengan alasan tidak mengajukan banding maka vonis terhadap mereka tetap berjalan, sungguh miris.
Namun nasip baik akhirnya menyentuh tangan mereka, seorang pengacara sekaligus anggota dewan bernama Albert Hasibuan merasa tersentuh kemudian memperjuangkan nasip mereka, akhirnya pada tahun 1981 berkat bantuan Albert maka Ketua MA Oemar Seno Aji yang merupakan alumni Universitas Gadjah Mada memerintahkan agar keduanya dibebaskan melalui jalur PK, mulai detik itulah PK pertama kali lahir di Indonesia.
PK tersebut bisa dirasakan masyarakat Indonesia sebagai upaya luar biasa mencari keadilan tidak terlepas dari kasus yang menimpa Karta dan Sengkon, mereka adalah korban kecerobohan polisi yang buru-buru menetapkan tersangka dan dengan cara kekerasan, semoga kedepannya polisi tidak lagi tergesa-gesa dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, jangan hanya karena dua alat bukti dengan cepat menetapkan tersangka, namun justru alat bukti tersebut meragukan.
Malangnya nasip Karta dan Sengkon tidak sampai di sana, meski mereka telah bebas namun keluarga mereka dari ekonomi pas-pasan sangat menderita akbat mereka mendekam di sel tahanan, Karta menemukan kenyataan yang sangat ironis, keluarganya entah kemana bertahan hidup setelah mereka dipenjarakan, rumah dan tanahnya seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan Bekasi lenyap untuk biaya perkaranya.
Sedangkan Sengkon yang kondisi kesehatannya memburuk akibat mengalami TBC pasca keluar dari tahanan, tanah yang selama ini dia andalkan menghidupi keluarganya habis terjual oleh istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai Sengkon saat proses di kepolisian dan pengadilan. Sengkon juga tidak dapat bekerja karena sakit parah yang dideritanya, banyak sekali bekas luka penyiksaan di tubuhnya.