Lihat ke Halaman Asli

Cerpen Tanpa Huruf ‘D’

Diperbarui: 1 April 2017   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok.pribadi"][/caption]Rinai hujan basahi langit sore, lembayung bergeser menyambut langit hitam, namun tatapan mata lelaki itu terus menatap lautan lepas, haru biru air wajahnya seperti gambarkan akhir sebuah petualangan cinta, yang telah hancur tertiup angin lautan.

Tangannya erat menggenggam secarik kertas, seperti memori perpisahan yang terangkai, atau seperti penghianatan oleh hati yang tertinggal. Lelaki itu terus menatap kejauhan, rasa kecewa, marah, terhianati, bergabung lalu tersusun melalui alunan haru mengubah waktu.

Serasa baru setahun yang lalu bersama sang kekasih lewati rintangan tentang cinta kasih yang terbentur strata sosial. Pulau Lombok memang menyimpan strata lewat goresan sejarah, mencintai seorang baiq merupakan suatu keniscayaan jika bergelar lalu. Namun sayang sungguh sayang, strata sosial berpihak akan perpisahan, hanya karena lelaki malang terlahir tanpa gelar kehormatan.

Lelaki itu bertanya lewat angin senja, apakah kebahagiaan hanya bergelar bangsawan? apakah menjamin bangsawan mampu bahagiakan jiwa yang terpenjara? bukankah banyak juga kekayaan membuat suatu rangkaian cinta retak berkeping-keping yang tak akan mampu terekat?.

Buih ombak lautan hampiri kaki lelaki yang kesepian berteman air mata, basahi kaki yang kokoh menatap cintanya yang hilang, sungguh tak akan mampu terekat lagi, angin berhembus seraya permainkan rambut lusuh lelaki itu, Ia tak pernah menyangka akan berakhir lewat air mata.

Tatapan mata lelaki itu beralih melihat air lautan yang semakin surut, terlihat genangan air yang tertinggal oleh surutnya lautan, genangan sebesar biji kelapa itu ternyata berisikan seekor ikan kecil yang terjebak surutnya lautan, pikirannya pun terbayang akan nasip cinta yang terhalang strata sosialnya, seakan seperti ikan kecil itu, tak akan bebas berenang menelusuri mimpi, terjebak antara pasir lautan, mungkin itu gambaran suatu strata sosial, membuat mereka yang merajut cinta terjebak tak bebas karena ancaman strata sosial. oh Tuhan, kini hilang mimpi suci itu.

Senja semakin membawa malam, bisikan cinta yang hilang lewat syair angin, lelaki itu temani malam, larut haru bersama kenangan, secarik kertas kata perpisahan sang kekasih masih tergenggam, Ia paham bahwa kekasihnya hanya terjebak strata, bukankah Kartini habis gelap tak menemui terang? terjebak juga oleh strata!, sampai kapan tangisan terus berirama lewat perpisahan yang terbentuk oleh strata sosial, sungguh malang nasip ini, apakah Tuhan pernah membatasi cinta seseorang?, sehingga manusia begitu tega memisahkannya.

Kau tahu bahwa Cleopatra berkorban untuk cinta, mengapa pengorbanan itu kini rapuh oleh perbuatan manusia yang menciptakan norma tanpa melihat perasaan?, bagaimana harus bertahan lewat jalinan kasih sayang ini? apakah akan terus bertahan hingga jiwa-jiwa itu berontak melawannya? terlalu sempit pola pikir itu.

*****

Lelaki malang itu langkahkan kaki beranjak pergi, tinggalkan pantai sepi itu, tempat berseminya kisah cinta mereka tiga tahun yang lalu, pantai sepi sebagai saksi anugrah Tuhan yang menciptakan cinta, namun kini terpisahkan oleh suatu strata agung.

Memang betul cinta sejati itu hanyalah mitos, karena manusia tak akan mampu bertahan hanya satu cinta, namun apakah harus bayarkan perpisahan untuk menunjukan bahwa cinta sejati itu tak bereksistensi?.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline