Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Kita Harus Tolak Revisi UU KPK?

Diperbarui: 31 Januari 2016   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="foto: somasintb.org"][/caption]Di tengah terjadinya degradasi moral yang melanda bangsa Indonesia, masih juga ada segelintir pejabat parlemen yang mencoba mematikan satu-satunya harapan terakhir masyarakat Indonesia terkait pemberantasan korupsi. Masuknya draf rancangan undang-undang KPK menggantikan UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 DPR, sangat membuat geram masyarakat, pasalnya DPR yang turut serta menjadi penyumbang korupsi terbesar di Indonesia, masih pula mengusik lembaga yang jika diuji integritas keduanya, maka DPR sangat memprihatinkan.

Terdapat 6 fraksi yang mendukung revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga anti rasuah tersebut, antara lain PDIP dengan 15 suara, Nasdem dengan 11 suara, Golkar 9 suara, PPP 5 suara, Hanura 3 suara dan PKB 2 suara, revisi UU KPK ini dinilai adalah suatu serangan balik yang menghantam KPK, setelah gagal melemahkan KPK melalui kriminalisasi beberapa orang komisionernya, kini serangan yang masif kepada KPK melalui pelemahan lembaga yang selama ini jauh efektif dari kerjaan "tukang tidur" di Senayan.

Hasil analisis terhadap draf RUU KPK, Koalisi Masyarakat Sipil NTB Anti-korupsi mendapat sedikitnya 7 pasal yang secara dasyat melemahkan KPK, yaitu:

  1. Mengubah mandat pembentukan KPK dari lembaga Pemberantasan Korupsi, menjadi lembaga Pencegahan Korupsi (Pasal 4 Revisi UU KPK) berpotensi membuka peluang lahirnya aktor-aktor korupsi baru, yang dalam kondisi tertentu hanya dapat dicegah melalui penindakan yang berefek jera (deterrent efect), khususnya penjeraan bagi pelaku korupsi itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya untuk tidak coba-coba melakukan korupsi. Salah satu bentuk penjeraannya adalah melalui penjatuhan tuntutan pidana yang maksimal;
  2. Pembatasan masa kerja KPK selama 12 tahun (Pasal 5 Revisi UU KPK) tidak relevan dengan kondisi kekinian Indonesia yang masih berada dalam daftar negara-negara korup di dunia (Corruption Perceptions Index 2014 by Transparency International, Country: Indonesia, Rank: 107, Score: 34), terlebih lagi dengan kondisi kepolisian dan kejaksaan yang masih belum menunjukkan ke-efektifannya dalam penindakan kasus korupsi, khususnya penindakan terhadap aktor-aktor korupsi dari kalangan pejabat tinggi maupun pebisnis kelas kakap. Sehingga, tidak ada jaminan 12 tahun Indonesia akan terbebas dari korupsi;
  3. Penghapusan kewenangan penuntutan KPK (Pasal 7 Revisi UU KPK) akan memperlambat fungsi penindakan KPK, yang selama ini terbukti efektif mempercepat penanganan perkara korupsi karena terintegrasi pada satu atap dari tahap penyelidikan, penyidikan, sampai penuntutan di persidangan. Selama 12 tahun usia KPK, integrasi kewenangan ini telah menjadikan KPK Indonesia sebagai model rujukan pemberantasan korupsi yang belum tertandingi di mata dunia, dengan pencapaian 100% (One Hundred Percent) Conviction Rate, yakni semua terdakwa korupsi yang dituntut KPK di persidangan semuanya dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor;
  4. Pembatasan kewenangan KPK dalam penanganan perkara korupsi harus di atas Rp. 50 miliar (Pasal 13 Revisi UU KPK) bertentangan dengan semangat Undang-Undang Pemberantasan Tipikor – UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 – yang menitikberatkan delik pemidanaan korupsi pada sebab/perbuatan (subjek hukum), bukan pada akibat (kerugian negara) yang ditimbulkan, karena kerugian negara bukan delik inti (bestanddeel delict) dari korupsi, serta tidak relevan dengan UNCAC 2003, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006, yang menempatkan kerugian negara bukan sebagai unsur korupsi. Sehingga, fokus penindakan KPK tidak bisa ditentukan berdasarkan kerugian negara, tapi lebih ke pengejaran terhadap subjek hukum yang melakukan korupsi (follow the suspect);
  5. Penyadapan KPK harus berdasarkan izin Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 14 Revisi UU KPK) tidak berdasar, karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan ketika KPK hendak melakukan penyadapan terhadap oknum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi (judicial corruption) pada lembaga peradilan yang lebih tinggi. Sehingga, keadaan ini akan menghambat KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di sektor peradilan khususnya. Selain itu, hasil penyadapan KPK selama ini telah terbukti mempermudah proses pembuktian adanya kesalahan (schuld) maupun niat jahat (mens rea) dari terdakwa korupsi, yang seringkali tidak dapat dibantah (eksepsi) oleh terdakwa korupsi maupun penasihat hukumnya di dalam persidangan;
  6. Pembatasan kewenangan KPK dalam mengangkat pegawai, penyelidik, maupun penyidik yang harus dari unsur kepolisian atau kejaksaan (Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK) akan memasung independensi KPK. Kewenangan KPK untuk mengangkat pegawai, penyelidik, maupun penyidik harus dilakukan secara independen berbasis kompetensi kerja, bukan atas dasar status sebagai pegawai kepolisian atau kejaksaan;
  7. Penyitaan yang dilakukan penyidik KPK harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 49 Revisi UU KPK) tidak sesuai dengan karakter penanganan perkara tindak pidana korupsi yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penanganan perkara korupsi membutuhkan tata cara dan pengaturan khusus (lex specialis) yang berbeda dengan tata cara penanganan tindak pidana pada umumnya.

Di atas merupakan pasal-pasal yang merupakan pasal utama senjata penghancur lembaga anti rasuah tersebut, disisi lain juga ada beberapa pasal lainnya yang menghantam KPK dan terlalu banyak jika disebutkan satu per satu. Revisi undang-undang KPK juga bertentangan dengan nawacita Presiden Jokowi, sebagaimana yang terdapat dalam poin ke 4 nawacita yaitu "menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya" penjelasan nawacita dapat ditonton disini Video: Penjelasan Nawacita Jokowi

Melihat revisi UU KPK ini adalah upaya yang betul-betul memperlemah KPK, sebagai masyarakat yang ingin bangsa ini bebas dari jarahan koruptor maka sewajarnya kita menolak revisi undang-undang KPK, apalagi melihat DPR sekarang ini yang merupakan penyumbang kerusakan bangsa, sudah sepatutnya kita tidak membiarkan mereka hancurkan harapan kita bersama dalam membangun Indonesia bebas dari korupsi.

[caption caption="foto: www.dimedan.co"]

[/caption]

Bayangkan tanpa malu-malunya mereka tersenyum saat diperiksa KPK, seakan korupsi menjadi hal yang biasa. Mereka mewakili rakyat Indonesia, tanpa rasa malu dan bersalah melepas senyum, seakan korupsi bukan merupakan suatu kejahatan, padahal akibat ulah mereka, jutaan rakyat miskin kelaparan, ratusan bayi mengidap busung lapar, si miskin tidak sekolah, yang sakit diusir karena tak mampu biayai pengobatan, namun para koruptor dengan santainya melambaikan tangan, seakan mengejek rakyat yang kelaparan akibat ulah mereka, saya tidak tahu, apakah mereka para koruptor tidak lahir dari rahim seorang ibu? sehingga tanpa merasa berdosa bagi air mata jutaan rakyat mereka tersenyum, berikut ini video menggambarkan kepedihan rakyat Indonesia akibat ulah mereka, semoga mampu menyentuh lubuk hati terdalam kita, Video: Rakyat Miskin Makan Sampah

Semoga video tersebut menggugah sanubari kita, pedihnya nasip rakyat miskin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline