Teringat percakapan sederhana dengan seorang teman sekaligus murid sekaligus direktur bank asing di Jakarta.
Dia lelaki Australia. Rendah hati. Sangat cerdas. Pernah bekerja di perusahaan internasional di berbagai negara. Setengah baya, tapi masih ganteng, eh?
Katanya,
"Ketika saya sekolah dulu, di Australia minim sekali informasi tentang Indonesia. Kami belajar Geografi, kami tahu banyak tentang Eropa, tetapi tidak tahu apapun tentang Indonesia selain letaknya yang berdekatan dengan Australia. Saya belajar bahasa Prancis bertahun-tahun, tetapi akhirnya tidak berfungsi maksimal dalam karier saya.
Kini anak-anak Australia sudah tahu banyak tentang Indonesia. Hal yang sangat penting untuk mereka pelajari adalah bahasa Indonesia. Belajar bahasa Indonesia sejak dini, bukan bahasa-bahasa Eropa atau bahasa lainnya. Pertimbangan saya pragmatis saja.
Anak-anak Australia harus memilih, mau belajar bahasa Eropa atau Asia atau Afrika atau Amerika Selatan?
Memilih bahasa Eropa mungkin bagus, untuk alasan senang-senang atau kesejarahan saja. Bahasa Amerika Selatan tidak begitu berguna karena jauhnya lokasi dan rendahnya kedekatan emosional dengan Australia. Bahasa Rusia apalagi.
Kalau memilih bahasa Asia, bahasa yang mana?
Dengan kondisi global sekarang, yang paling menarik memang belajar bahasa Mandarin, tetapi belajar Mandarin, Jepang, Korea, Thailand, Arab dan lainnya perlu energi ekstra karena terkendala sistem penulisan yang tidak menggunakan aksara Romawi.
Perlu waktu lama untuk mempelajari bahasa-bahasa tersebut hingga level mahir. Perlu "panggilan hati" untuk belajar bahasa dengan karakter khusus seperti itu. Mempertahankan semangat dan ketertarikan seringkali menjadi kendala. Alasan belajar semata untuk mencari uang (ekonomi) bukanlah alasan yang bagus. Kebanyakan gagal di tengah jalan.
Belajar bahasa Myanmar, Kamboja, Laos, Urdu, Tamil, dan lain-lain (maaf) insignificant.