"Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, 'karena dosa apa dia dibunuh?'" (At-Taqwir: 9--10)
#
Sepanjang sejarah, praktik pembunuhan terhadap anak-anak telah berlangsung sejak lama dan terjadi di berbagai daerah. Secara umum, pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak sendiri disebut dengan istilah Infanticide. Secara khusus, jika anak itu berumur satu minggu hingga satu tahun, ada istilah tersendiri, yaitu Neonaticide. Ada lagi istilah Filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak yang berusia kurang dari 18 tahun.
Infancitide terjadi karena berbagai faktor, seperti 1) perkembangan pandangan manusia tentang konsep kehidupan pada bayi yang baru lahir, 2) ritual pengorbanan, 3) kontrol populasi, 4) kemiskinan, 5) pandangan rendah terhadap bayi perempuan, 6) cacat fisik, 7) kelahiran di luar nikah, dan 8) takhayul. Pada beberapa kebudayaan, bayi yang baru lahir belum dianggap sebagai manusia. Di Romawi kuno bayi dianggap seperti tanaman hingga ia berumur tujuh hari. Di Eropa pada Abad Pertengahan, bayi yang terlahir cacat dianggap sebagai bayi peri yang sengaja ditukar dengan bayi manusia. Bayi peri pembawa keburukan ini dikenal dengan istilah Changeling. Di Jepang, bayi dianggap sebagai manusia sepenuhnya ketika terdengar tangisan pertama bayi itu yang menandakan bahwa jiwa sudah ada di tubuhnya. Pada era sekarang, kemiskinan dan kelahiran di luar nikah menjadi alasan utama terjadinya Infanticide.
#
Perihal pembunuhan bayi-bayi perempuan di Mekah pada masa jahiliyah, beberapa riwayat menyatakan bahwa yang pertama melakukannya adalah Bani Rabi'ah, diikuti Bani Kindah, dan sebagian Bani Tamim. Mereka melakukannya dengan cara
1) anak yang akan dikubur didandani dulu oleh ibunya dengan alasan akan dibawa menemui keluarga di tempat lain. Setelah sampai di tempat tujuan, dan setelah ayahnya menggali lubang, anak itu disuruh melihat ke lubang lalu dijerumuskan dan ditimbun. Cara ini dilakukan terhadap anak perempuan yang sudah berusia 6 tahun.
2) Ibu-ibu yang akan melahirkan sengaja berada di depan lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu. Bila ternyata anaknya perempuan, langsung ditanam hidup-hidup.
Sebagai informasi, tidak semua suku melakukannya. Bani Quraisy dengan berbagai cabang keturunannya tidak mengenal kebiasaan ini. Oleh karena itu, riwayat yang mengatakan Umar bin Khattab pernah menanam hidup-hidup anak perempuannya tidak dinilai sebagai riwayat yang sahih. Salah satu alasannya, Hafsah, putri Umar yang kemudian menjadi istri Rasulullah, juga dilahirkan sebelum masa kenabian. Dia tidak dikubur.
Ada lagi riwayat tentang Sha'sha'ah bin Najiah, kakek penyair Al-Farazdag, yang menebus dengan dua ekor unta hamil sepuluh bulan (harta berharga) bagi setiap orang yang bermaksud menanam anaknya hidup-hidup. Konon dalam hidupnya ia sempat menebus 300 (dlm riwayat lain 400) anak perempuan yang direncanakan dibunuh oleh orang tuanya.
#