Lihat ke Halaman Asli

Diajeng

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tiga hari lalu, Jumat siang, pukul setengah tiga. Terbaca di layar monitorku, Diajeng is online.

Lewat Messenger, kau akhir-akhir ini kembali sering bercerita, tentang tangis dan tawa, yang berselingan di pojok-pojok kamar rumahmu. Kau yang ternyata masih tak marah kusapa, dengan sapaan dan mimik lucu, yang memang kusengaja untuk meledekmu. Seperti dulu.

Seperti dulu. Saat setangkai kembang Krisan masih berhak kusemat di atas telinga kananmu, saat langit masih suka menertawai kita yang malu-malu....

Dan di bundaran kampus tua di Jogja, tempat kita mengeja canda, terucap kagumku pada tahi lalat kecil di ujung kiri bibir atasmu

Dan di ruang tunggu bandara Narita, suatu pagi di musim dingin, jemari kita saling berpilin

Dan di depan stasiun Mito di Ibaraki, tempat biasa ku menjemputmu sore hari, janji-janji mekar bersemi

Dan di kaca jendela Garuda, perjalanan pulang ke Indonesia, terlukis dua hati yang bertaut manja

Dan di halaman istana Bogor, tempat kita menggoda rusa-rusa, gerimis kita rayakan dengan tawa

Tapi tiba-tiba. Diajeng is signing out.

Kemana?ada apa?

Bukankah emoticon nangis dan pamit undur diri tadi cuma bercanda? Bukannya lambaian emoticon dan kata-kata sayonara tadi gurauan belaka?

Panik. Jariku berloncatan dari satu jendela ke jendela lain, lincah mengejar jejakmu, di Facebook, YM, GoogleTalk, juga Twitter. Nihil. Kau sudah sign out, bahkan beberapa akunmu menunjukkan kamu deactivated. Kau putus tawa renyahmu seiring kau menghilang dari jejaring sosial. Sore itu.

Berulang kali aku berkirim kabar. Nekat meskipun di jendelamu jelas tertulis Diajeng appears to be offline and will receive your messages after signing in.

Kemana saja?ada apa?

Entahlah, aku nggak tau persis, tapi dukamu di seberang sana begitu mengiris. Perih lukamu begitu menyayat, terasa hingga di sini, hingga saat ini, malam keempat sejak kau minta maaf dan pamit undur diri.

Dan (seperti biasa) aku hanya bisa menerka. Tanpa berhak bersuara, apalagi bertanya. Seperti saat itu.

Seperti saat itu. Saat ranting kemuning patah diterjang angin pengarak pagi, saat pekat mendung menggulung harapan yang sekian lama tinggi membumbung....

Dan di selembar undangan pernikahan, tertulis namamu dan namanya, sedangkan aku tidak buta aksara

Dan di perhelatan hari-H, tangan berjabat dan mata saling tatap, senyumku bukanlah hatiku.

Dan di sebuah pesan pendekmu menjelang Magrib, “cepatlah datang, Aqiqahan segera dimulai”, terpanjat doa tulus buat kalian bertiga 

Dan di ujung kiri bibir atas putrimu, terlukis tahi lalat kecil, persis punyamu, yang sering kupuji dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline