Lihat ke Halaman Asli

Kenduri Cinta di Malam Bulan Puasa

Diperbarui: 25 Desember 2015   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selalu ger-geran tiap kali nonton Cak Nun dan Kiai Kanjengnya, begitu juga tadi malam di Kenduri Cinta, acara yang digelar rutin tiap bulan di Taman Ismail Marzuki, Cikini.

Kolaborasi antara keindahan musikal dan religiusitas yang dibawa Kiai Kanjeng dan para penampilnya memang tidak ada habisnya. Improvisasi berbagai warna musik yang diaransemen dalam seperangkat gamelan yang magis seakan membius pengunjung untuk merasakan hening dalam kerasnya tabuhan, menikmati nada dalam riak dan lengking suara biduan biduanitanya. Indah.

Pun ketika Cak Nun bertausiah di sela lagu-lagu yang dibawakan, masih saja terasa aura magis itu. Meskipun beliau banyak membanyol, penonton tetap saja tak bisa lepas dari nilai-nilai religi yang memang sengaja ditransfer oleh sang "Kiai Mbeling". Banyak wejangan dan cerita sejarah yang meluncur tadi malam, mulai dari ciri peradaban sampai dunia mikrokosmos-makrokosmos manusia, mulai dari gonjang-ganjing di akhir kerajaan Majapahit (kesatuan) sampai berdirinya kerajaan Demak (federasi). Juga ada cerita tentang transformasi Rajawali menjadi Garuda, tentang Jupe si calon wagup Pacitan, dan lain-lain.

Ah, Cak Nun, sampeyan memang tiada habisnya.

Lalu Kiai Kanjeng kembali menghentak malam dengan lagu-lagunya yang merentang dari blues, RnB, dangdut, qasidah yang semuanya dikemas apik dalam seperangkat gamelan modern. Ada sesi lumayan panjang ketika Cak Nun berkisah tentang Sunan Kalijogo, pendakwah Islam di tanah Jawa yang terkenal ini. Beliau secara runtut menceritakan peran sentral sunan Kalijogo dalam menyelamatkan Majapahit yang (mau gak mau) sedang menuju keruntuhan untuk kemudian mentransformasikannya dari kerajaan agraris yang berpusat di Mojokerto menjadi kerajaan maritim yang berpusat di Demak.

Dikisahkannya bagaimana sang Sunan mengislamkan para empu di Majapahit, raja dan keluarganya, dan bagaimana kelanjutannya. Ada yang masuk Islam berbondong-bondong dan menjadi santri, ada yang Islam tapi masih abangan (kejawen), juga ada yang menyingkir dan sama sekali menolak Islam. (oleh Cak Nun ketiga golongan ini digambarkan secara menggelikan dengan tiga parpol di jaman Orde Baru :)

Mengikuti Kenduri Cinta Cak Nun seakan menemukan oase di tengah kegersangan doktrin formal, baik dalam beragama maupun dalam bernegara. Islam sebagai agama menjadi terkesan lebih 'ramah' dan 'luwes', tidak lagi 'seram' dan 'kaku'. Negara dan pemerintah sebagai bentuk kesepakatan bersama juga perlu memandang posisinya dari kacamata baru, tentang perannya sebagai (benar-benar) pelayan masyarakat, bukan penguasa masyarakat.

Acara tadi malam berakhir kira-kira pukul 2, menjelang sahur, ditutup dengan doa bersama untuk negeri, untuk kami, dan untuk sahabat yang sedang terbaring sakit di ruang ICU.

Pulang membawa hati yang cerah, semoga mampu memetik hikmah. Ah, jadi gak sabar menunggu Kenduri Cinta bulan depan (Lho, ini kan puasa, harus bisa menahan diri, sabar..sabar...sabar :) 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline