Lihat ke Halaman Asli

Lebaran di Atas Nampan

Diperbarui: 24 Juli 2017   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Khusus untuk pagi hari ini. Aku buka pintu rumah ini. Sebenarnya tak wajar karena belum pernah aku yang membuka pintu sepagi ini. Bukan karena aku malas, namun karena ini titah baru. Kubuka sedikit lebih lebar agar angin mau bermain bersamaku lagi, kembali berdesus bersama hawa dan suara kicau dan kokok ayam. Telah cukup lama pintu ini menjadi kering dari suaranya yang nyaring menderu. Tawa kami dan ocehanku sering menggurui adik kecilku. Ibu bangun, juga terbiasa lalulalang lewat pintu belakang-samping rumah ini. Yang katanya lebih baik dan tak meramaikan yang lain.

Hari ini. Semoga pintu ini bisa berdering riang saat angin itu datang, membawa tanganku yang dingin, membawa peputih, bukan jingga. Lebaran. Pintu-pintu lain tampaknya telah terbuka, memanggil para tetangga untuk datang berlangganan jajanan. Meja penuh toples dan isinya menyuguhkan berbagai hal tentang kenangan; roti yang manis kulitnya; gelas cantik yang indah rautnya; teh cokelat yang melilit lidah; serta jingkrakan anak kecil meramaikan suasana. Semuanya terasa begitu nyata, bukan semu dari kemunduran seperti tentang demokrasi, seperti tentang dunia para elit.

Kursi kami tampak rapi, bersih, dan hasil jahitan khas masa lalu. Kembalikan ke titik nol. Titik pengembalian hati Emak, juga. Masih adakah kesan untuk ditinggali? Adakah naskah yang bisa diulangi untuk diputarkan? adakah tawa yang bisa disengaja untuk diciptakan? Inilah drama yang bermain tanpa sengaja ada lakon dan tragedi.

Ruangan ini masih kosong dan bolong. Sedang di seberang sana rantaian mulut mungil berbicara runtut mulai anak-anak mereka yang lulus sampai anak mereka yang siap untuk diikat dalam perjanjian akad, "Rat, tolong bersihkan foto-foto ini ya ..", ujar Mak Imah. Aku hanya mantuk. Foto itu telah tua, seperti jimat milik khas keluarga kami. Ah bukan, jimat hanyalah istilah masa lalu. Di sana ada bajunya yang tampak lusuh namun tampak gagah dipakai di kala muda mencampurinya. Aku usap-usap; aku elus-elus hingga debu berucap jadi asap; dan asap lalu terbang sedikit terseok, kemudian mengembang bersama banyangan angan-angan.

"Nak, kira-kira apa dia datang ya?", Ujar Mak Imah lagi. Adikku yang kecil menangis teriris, ruang tamu nampak landai bersama kekhawatiranku akan foto-foto di dinding itu akan jatuh kemudian pecah berserakan. Aku redam tangisnya, dia tetap menangis.

Tampak dengan jelas, di sudut binar mata Emak ada wajah Bang Hilman. Ada rindu yang tak biasa.

***

Nasi kuning sudah dibuat panas sejak subuh. Menjadi hangat dan dimakan bersama-sama. Ketika masih ada Abang, aku-Emak-Adikku si kecil memakannya di atas nampan bulat plastik buatan lokal. Itu dulu, sebelum Abang pernah duduk di kursi empuk. Karena jabatan, karena cita-citanya. "Ah, lebih tepatnya karena do'a-do'a kami!" Ujarku dalam hati. "Juga do'a Bapak, yang telah mendahului kami, tentunya."

"Aku paha ayam bawah yah Bang!" Ucapku sedikit manja.

"Hallah, aku juga mau Mas!" Rebut adikku yang kecil.

"Sudah, jangan ribut sendiri Nak!. Kasihkan Emak saja kalau begitu caranya!" Emak tersenyum, lalu kami tersenyum, kemudian tertawa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline