Penelitian yang berkaitan dengan penyakit malaria selalu menarik dilakukan di Indonesia. Sebab, malaria masih menjadi momok di negeri ini. Memang, "kedahsyatan" malaria tidak sehebat dulu, pada era 90-an atau 2000-an awal. Obat malaria kini sudah jauh lebih gampang didapatkan. Namun, tetap saja penyakit tersebut rentan diidap oleh mereka yang berada di daerah perifer.
"Kesadaran masyarakat di sana tentang penyakit ini belum benar-benar bagus. Upaya penyuluhan tetap penting untuk terus digiatkan," kata Prof. Indah S. Tantular, peneliti dari Institute of Tropical Disease (ITD).
Secara umum, malaria masih menjadi masalah kesehatan utama dunia karena menyebabkan kematian yang cukup tinggi. Malaria diperkirakan menginfeksi 300-500 juta penduduk dunia setiap tahun, dengan angka kematian mencapai 2,5 juta. Metode standar yang digunakan untuk diagnosik malaria adalah mikroskopis dengan pewarna Giemsa. Namun, metode tersebut memiliki kelemahan. Antara lain, memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman dan waktu yang cukup lama untuk menemukan parasit di sampel darah yang dilihat lewat mikroskop.
Tim ITD UNAIR, yang didukung pula oleh peneliti ITS, membuat modifikasi mikroskop, yang sudah sempat dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Untuk memaksimalkan fungsi mikroskop tersebut, dipakailah pewarna Acridine Orange(AO) guna membantu melihat parasit dalam sampel darah.
Metode ini berguna untuk skrining cepat malaria. Yang menarik, paramedis awam pun bisa melihat parasit yang ada di darah, kalau memang pasien mengidap malaria. Pasalnya, parasit akan tampak berpendar tatkala ditilik melalui mikroskop. Jadi, selain terobosan soal modifikasi mikroskop, Indah S. Tantular dan tim juga melakukan inovasi di ranah pemilihan pewarna yang tepat untuk mendukung upaya diagnostik parasit malaria. Dengan mikroskop dan AO, diagnosa malaria bisa berlangsung hanya satu atau dua menit.
Yang tak kalah menarik, mereka juga meramu formula untuk memeriksa G6PD (Glucose-6-phosphate dehydrogenase) pasien malaria. Jadi, saat pasien dinyatakan positif malaria, pemeriksaan G6PD dapat langsung dilakukan. Bila kadar G6PD yang bersangkutan tergolong rendah, pasien itu tidak dianjurkan untuk meminum obat primaquin. Obat tersebut, saat ini, sangat umum digunakan dalam penyembuhan malaria.
"Kalau G6PD-nya deficiency, dan tetap memaksa minum pramaquin, sangat mungkin terjadi hematuria (pendarahan yang gejalanya dapat disaksikan dari urine. Urine yang keluar tampak mengandung darah, Red)," urai Indah. Bila G6PD-nya rendah, pasien perlu dicarikan obat atau alternatif lain untuk penyembuhan. Jangan sampai, pengobatan justru menimbulkan masalah baru.
Formula hasil kreasi Indah dan tim sejatinya cukup sederhana. Penerapannya pun simpel. Bentuknya, berupa cairan yang jernih. Cairan tersebut, nantinya dicampur dengan darah penderita malaria. Bila warnanya berangsur pucat setelah sekitar dua puluh menit pencampuran, bisa dipastikan yang bersangkutan memiliki G6PD rendah. Sedangkan bila warnanya cerah mencolok oranye, berarti dia tidak memiliki masalah kalaupun mengonsumsi primaquin.
"Biasanya, untuk pemeriksaan G6PD ini dibutuhkan banyak alat, inkubasi, dan waktu yang berjam-jam. Namun, dengan larutan yang kami buat, pemeriksaan bisa berjalan sekitar dua puluh menit," kata dia. Jadi, bila dijumlahkan, waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan malaria plus pengecekan G6PD, hanya sekitar tiga puluh menit, atau bahkan kurang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H