Dialah Nur Janah. Lahir dan dibesarkan di sebuah desa kecil di daerah yang memasuki zona WITA. Wanita yang ditakdirkan untuk berjuang menghentikan kekerasan terhadap perempuan itu lahir pada 1980. Ia merupakan lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi Matematika.
Keseharian Nur semasa kecilnya dibalut kehangatan dan canda tawa bersama dua saudara perempuan dan dua saudara laki-lakinya. Ayah Nur mencari nafkah dengan menekuni pekerjaan sebagai seorang petani, sedangkan ibunya berjualan bakulan keliling.
Dibalik kehangatannya bersama keluarga, awan gelap juga turut menyelimutinya. Semasa kecilnya, Nur kerap kali menyaksikan kekerasan terhadap perempuan terjadi di sekitarnya. Kekerasan menjadi hal yang lumrah, diterima, bahkan ditoleransi oleh masyarakat setempat. Tidak ada seorangpun yang berani melaporkan hal tersebut karena dianggap aib keluarga.
Sebagai seorang perempuan yang memiliki empati terhadap sesama perempuan dan korban kekerasan, Nur tidak tinggal diam. Ia memiliki tekad dan keinginan yang kuat untuk mengakhiri kekerasan.
Selama hampir 20 tahun, Nur terlibat dalam perlindungan perempuan dan korban kekerasan. Melaporkan segala bentuk kekerasan yang terjadi di wilayahnya menjadi sebuah rutinitas. Bersama rekan-rekannya yang juga berjiwa sosial, mereka menggalakkan dukungan publik dengan menulis di media, menjadi sumber yang dikenal luas demi menyuarakan keadilan bagi perempuan, dan menghapus segala bentuk kekerasan.
Selain kekerasan, variasi masalah kehidupan lainnya juga turut ia saksikan. Ada juga persoalan mengenai pernikahan di bawah umur. Sebuah kasus mengenai pernikahan dini pun turut melibatkan Nur di dalamnya.
Kasus tersebut dimulai ketika Nur sedang mendampingi sekelompok perempuan di suatu desa di Lombok. Mereka berdiskusi dan saling berbagi cerita tentang kehidupan mereka. Di kelompok itu, ada seorang wanita, sebut saja Intan, yang memiliki dua orang anak. Anak pertamanya sudah duduk di bangku SMP, sedangkan anak keduanya masih duduk di bangku SD. Suaminya adalah seorang pekerja migran di Malaysia sebagai buruh kelapa sawit. Nur dan Intan saling bertukar cerita dan mulai akrab.
Hingga tiba suatu malam, Intan menghubungi Nur melalui telepon. Ia memberitahu Nur bahwa Dinda (nama samaran), putri pertamanya itu belum juga pulang. Intan panik setelah mengetahui bahwa Dinda telah diminta untuk menikah dengan Angga, pacar Dinda. Dan untuk sementara waktu, Dinda diminta untuk tinggal di rumah keluarga Angga.
Di samping itu, ada sebuah paradigma di Lombok. Jika seorang anak gadis dan pacarnya tidak pulang sampai larut malam, maka mereka harus menikah. Jika tidak menikah, pihak perempuan akan dianggap sebagai gadis yang tidak suci lagi. Tentu saja masyarakat akan mengucilkan mereka jika sampai hal itu terjadi.
Setelah kabar pahit itu, keesokan harinya Nur dan Intan menghubungi pihak sekolah. Mereka mengajak pihak sekolah untuk bersama-sama mengunjungi rumah keluarga Angga. Pihak sekolah pun bersedia.