Lihat ke Halaman Asli

Memperjuangan Pendidikan Bagi Kaum Difabel

Diperbarui: 1 Oktober 2015   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah bagi kaum difabel adalah kemewahan. Bukan hanya keterbatasan kemampuan fisik yang menghalangi mereka untuk mampu mengakses pendidikan, namun keberadaan sekolah bagi mereka juga menjadi masalah serius. Selama ini pemerintah daerah hanya menyediakan sekolah luar biasa (SLB) di kota, sekolah kaum difabel tidak ada di kecamatan apalagi di desa.

Di Kabupaten Banyumas pun demikian. Keberadaan fasilitas publik berupa SLB masih sangat terbatas. SLB hanya ada di Purwokerto dan Kecamatan Banyumas (Ibu Kota Kabupaten Banyumas lama), sedangkan di kecamatan lain belum terdengar ada SLB beroperasi.

Kondisi ini tentu saja merugikan kaum difabel di daerah pinggiran kabupaten. Mereka sangat kesulitan mengakses pendidikan demi masa depan. Akibatnya sampai kapanpun kaum difabel tidak mampu meningkatkan kualitas hidupnya sebagai insan pembelajar.

Baru-baru ini saya melihat ada sejumlah orang yang berusaha mendobrak kondisi ini. Mereka mencoba mendata anak-anak difabel di Kecamatan Gumelar. Mereka mencari anak-anak berkebutuhan khusus yang sudah ataupun belum sekolah. Tak lupa juga mendata anak-anak difabel yang sebelumnya terpaksa keluar atau dikeluarkan dari sekolah karena tidak pernah naik kelas.

Selanjutnya orang-orang ini melakukan usaha deteksi dini kepada anak-anak yang diduga sebagai difabel. Deteksi dini ini ditangani seorang dokter spesialis anak dari RS ternama di Purwokerto. Setelah semua anak berkebutuhan khusus berhasil dikumpulkan, kegiatan belajar mengajar segera berjalan. Mereka memenuhi kebutuhan belajar anak difabel, mulai dari media belajarnya serta sarana ruang khusus penanganan buat mereka.

Kerja-kerja sosial mereka tergolong unik. Sejak awal mereka enggan untuk di pemberitaan media setempat. Sebagian dari relawan tersebut juga berusaha tidak membawa-bawa jabatan struktural maupun fungsional PNS mereka. Satu relawan yang notabene seorang dokter spesialis anak juga tidak mau dibayar dalam pekerjaan mulia tersebut.

Menurut seorang relawan, usaha di atas sebenarnya sudah dirintis lama. Kecamatan dan desa pinggiran sengaja dipilih karena dianggap paling rentan mendapat diskriminasi sosial dan pendidikan. Apalagi faktor kemiskinan juga turut memicu keluarga difabel tidak mampu mengakses pendidikan SLB di kota maupun penanganan medis di rumah sakit.

Memperjuangkan pendidikan bagi difabel menurut mereka harus dilakukan secara sabar. Berbagai kendala di lapangan seperti kesadaran keluarga, pembiayaan, jarak, waktu, dan tempat atau penyediaan gedung juga harus dipikirkan. Kepada warga desa mereka harus intens memberi pemahaman bahwa kaum difabel juga mampu berprestasi seperti halnya anak-anak normal lainnya.

Usaha yang tak kalah berat adalah memahamkan pihak sekolah. Di awal banyak guru di desa pisimistis menganggap anak-anak difabel akan mampu mengikuti pelajaran di kelas. Bahkan banyak kepala sekolah yang awalnya malu menerima anak-anak berkebutuhan khusus hanya karena takut disebut SLB.

Perlahan tapi pasti para relawan memperjuangkan sekolah inklusi di Kecamatan Gumelar. Mereka berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk mau menerima anak-anak berkebutuhan khusus di berbagai tingkatan. Mereka juga memberi pelatihan khusus kepada guru yang sebagian besar belum memiliki keahlian mengajar anak-anak difabel. Mereka berjuang agar semua sekolah tidak melakukan diskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.

Jadi, memperjuangkan kesempatan bersekolah bagi anak-anak difabel butuh kerja-kerja serius dan terintegrasi. Para relawan harus memastikan pihak keluarga, lembaga desa, dan pihak sekolah bersedia serta mampu memberikan kesempatan belajar kepada kaum difabel. Informasi terkahir dari seorang relawan, kegiatan penangan dan pendampingan sudah menyebar ke Kecamatan Sumbang, sebuah kecamatan di lereng gunung Slamet.
Saat ini mereka berharap pemerintah daerah lebih peduli kepada kaum difabel. Bagaimanapun juga anak-anak berkebutuhan khusus juga bagian dari warga negara yang berhak mendapatkan pendidikan. Jangan sampai hanya karena keterbatasan fisik maupun psikis anak-anak tidak bersekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline