Lihat ke Halaman Asli

Berburu, Meracik Kopi di Pasar Tradisional (Secangkir Kopi)

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1353735681999994935

Kopi bagi saya bukan hanya soal sekedar kegemaran, lebih dari itu sudah menyangkut seni rasa di lidah dan di hati, mulai dari memilih biji, lalu menggiling sampai menyeduh saya lakukan sendiri. Perjalan panjang saya mengenal kopi sejak dari SD kelas enam, ketika itu pulang sekolah hujan-hujan bersama teman-teman, setiba di rumah terserang demam badan keluar keringat dingin. seketika Ibu saya di suapi air kopi, sesaat kemudian badan terasa hangat. Dari situ awalnya saya mengenal rasa kopi dan manfaatnya. lalu jadi keterusan, sehari tiga cangkir kopi, kala pagi hari, siang jelang sore dan malam hari. Bila ada teman/tamu bisa empat-lima cangkir. Ketika itu secangkir kopi hadir di keluarga hasil dari kebun belakang rumah, cukup banyak 40 pohon. Bila berbuah saya selalu membantu memetik, mengupas, mencuci dan menjemur bila kering dimasukkan dalam karung goni lalu disimpan di para-para dapur. Satu tahun kemudian baru kopi-kopi tersebut diolah secara tradisional di sangrai memakai wajan tanah lalu di tumbuk memakai alu di lumpang batu, kemudian disaring sampai halus, lalu disimpan dalam toples. Sistem pengambilan berurutan, panen tahun ini akan di olah tahun depannya. Kala itu saya belum ngeh/ngerti kenapa kopi harus di simpan lama, pernah saya tanyakan ke Bapak jawabnya pendek "Biar rasanya mantab" Namun dengan suka membaca, akhirnya menemukan artikel tentang kopi dan sejarahnya (silahkan search di mbah google), saya baru mengerti kopi bila disimpan lama akan menghilangkan rasa kecut/asamnya dan mengurangi kandungan kalorinya disamping itu ada rasa/taste yang sulit saya tuliskan. Seiring perjalan waktu dan perkembangan jaman, pohon kopi di tebang, berakhir pula olah kopi, lalu berganti konsumsi kopi kemasan. Saya sendiri mulai berpetualang sejak SMA, sampai sekarang masih sering mencicipi berbagai kopi baik tubruk maupun kemasan dari mulai kopi produk lokal, Aceh/Medan, Lampung, Sulawesi, Bali, dan kopi Luak pun pernah saya icip-icip. Saya berpendapat semuanya punya taste dan penimatnya. Sebab terkait seni rasa/taste di lidah dan di hati, nikmat tidaknya produk masing-masing daerah/kemasan saya kembalikan pada penikmat kopi itu sendiri. Bila ingin tahu tentang filosofi kopi lebih jauh baca di sini, Tentu bagi saya pribadi, paling nikmat menikmat secangkir kopi hasil racikan sendiri, mulai dari memilih biji lalu mengkombin dua jenis kopi Arabika dan Robusta. Hal tersebut saya lalukan sejak empat tahun yang lalu dengan seringnya keluar masuk pasar tradisional Pasar Wage Purwokerto akhirnya menemukan biji-biji kopi kering dengan berbagai harga tergantung kualitasnya, ada juga yang sudah di sangrai dan di giling tinggal pilih, sesuiakan isi dompet dan selera. Gambar di bawah ini salah satu tempat penjual kopi.

Lapak Kopi. dok. Pribadi

Berbekal sedikit pengetahuan tentang biji-biji kopi dari orang tua, saya coba beli dari harga yang murah sampai mahal, tentu biji itu kering dan bernas. Caranya saya ambil satu-dua biji lalu saya gigit dan kecap-kecap. Bila di gigit bunyi klik dan berasa wangi khas kopi berarti kering dan masak di pohon, lalu saya beli masing-masing setengah kilogram. Di rumah biji-biji tersebut saya pilah-pilah kembali, lalu di jemur ulang. Setelah itu saya kombine dengan perbandingan 1:2:3 ; 1:2 ; 1:3 ; 2:3 setelah itu di sangrai lalu di bawa ke pasar, digiling. Akhirnya setelah uji coba cukup panjang, ditemukan takaran 3:1,5. Tentu kombinasi itu telah melalui uji para penikmat kopi hitam yang mampir di warung saya, dengan seribu satu cerita di baliknya. Mereka merasa puas dan ketagihan dan disitulah letak kepuasannya. Anda penikmat kopi sejati, ayo sekarang coba kreasi sendiri. Luangkan waktu, acak-acak pasar tradisional lalu cari tempat penjual/penggilingan kopi. Kombine kopi-kopi tersebut lalu nikmati hasil akhir, bila belum pas/puas jangan putus asa coba lagi. Menurut saya itulah seni mencipta lalu nikmati rasa/taste sejatinya menikmat secangkir kopi. Dan sisi lain, uniknya bila berlangganan di pasar tradisional, bila telah akrab dengan penjual/pemilik lapak di pasar, mereka akan mengeluarkan biji kopi simpanan dengan harga khusus dan saat menulis inipun sambil menikmat secangkir kopi karya sendiri, srupuuut... Yaa Allah nikmatipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline