Lihat ke Halaman Asli

Nun

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kala akan tiba pemilihan umum entah itu eksekutif dan yudikatif, maka atribut warna-warni partai pengusungnya mewabah di kampungnya, mula dari stiker, spanduk, bendera dan atribut lainnya terserak di jalanan, rumah, pun di perahu silih berganti warna, bila yang datang ketua/petugas partai kuning, tentu seluruh kampung dan perahu berwarna kuning pun sebaliknya bila yang datang warna merah. Namun  ada satu perahu motor yang atributnya hanya satu, bendera merah putih ukuran 40 x 35 cm yang selalu baru, berkibar saat akan melaut, dan selalu dilepas kala mendarat. Pun tak sembarang pasang atau melepas, Ia akan berdiri tegap lalu memberi hormat, mengikuti jejak ayah dan kakak-kakaknya, tentu akhirnya jadi tontonan anak-anak nelayan dan tak jarang jadi cemohan namun Ia tak hirau.

Pemiliknya itu namanya Nun, anak bungsu dari dua saudara yang bersama Bapak lenyap tak berbekas bersama perahunya di laut pulau seberang. Diketahuinya setelah tiga hari tak pulang. Laporannya ke aparat dan pejabat setempat, tak digubris, malah dianggappergi merantau ke negeri seberang, pun demikian  seluruh nelayan di desanya dengan ditebari berbagi bumbu-bumbu tak sedap, saat itu.

Lima tahun sudah, Nun tinggal bersama ibunya yang tak mau berbicara apapun kecuali satu tanya dan pinta yang berbilang hari, bulan dan tahun berulang, "Mana bapak, mas mu si Nan dan Nin? Besok jaring bibir pantai, ajak mereka pulang",  dari ajaran ayah dan kakaknya, Ia menjelma menjadi pelaut ulung disamping mencari ikan, pun terus menebar jaring di setiap inci di bibir pantai pulau seberang, sembari mencari jejak keberadaannya namun selalu didapat berton-ton ikan memenuhi palkanya. Tak hanya itu, kala disetiap pertemuan, selalu menyuarakan dengan lantang perjuangan bapak dan kakaknya.

.....................

Baginya berbagai atribut warna warni bendera, kaos, topi, selalu datang silih berganti kala mereka 'mengais suara adalah warna-warni munafikun dunia. Selepas terpilih selalu mereka lupa janji mulutnya. Kala waktunya mereka akan datang kembali membawa mulut  berbusa-busa menebar seribu janji. Nun selalu tertawa kala yang lain bertepuk tangan. Kala diminta keinginan, para nelayan berebut minta mesin motor, cat, jaring, rehab rumah, kaos dan lain-lain. Dari barisan belakang akan terdengar suara lantang Nun 'Kami minta usir perahu pukat mulai dari garis cakrawala pantai kita dan dari seluruh negeri Nusantara' bukan tepukan yang didapat, suara 'huuuu!' dan cemohan dan namun tak menyurutkan suara lantangnya di setiap kesempatan pertemuan.

Suara lantang Nun 'usir perahu pukat dari garis cakrawala' dan keteguhan nun tak memakai satu pun atribut warna warni partai, kini mulai menjangkiti nelayan lain, satu, dua, tiga dan akhirnya hampir tiga seperempat kampung nelayan mengikuti jejak langkahnya. Tak hanya itu pakaian celana hitam komprang dan kaos putih pun diikutinya walau sejatinya kaos itu sudah tidak putih dan bahkan banyak yang sudah compang-comping.

"Kita ini selalu di nina bobokan dan ditipu mentah-mentah oleh si pemilik atribut warnawarni partai perusak alam negeri Nusantara yang kita cintai. Kini mari kita tancapkan di dalam dalamnya hati sanubari, alirkan di dalam dalamnya darah dan pompa ke sekujur jiwa raga kita! satu warna warisan nenek moyang pelaut kita lalu merahputihkan warna laut, gelombang, angin, karang mulai sejauh cakrawala pantai kita dan tujuan akhir di seluruh penjuru Nusantara!'

Tak dinyana, tak disangka yang selama ini,  tak pernah diperhitungkan oleh intel-intel, aparat, pejabat dan tauke besar. Kini bangkit membakar dada nelayan!

"Kita harus kembali belajar ke arifan warna-warni alam semesta, petiklah warna itu buat simbol di perahu-perahu kalian, tak salah bila senang warna kuning, merah dan lainnya, itu warna-warni kesenangan hati sanubari diri akan melebur bersama perahu-perahu mengarung gelegak ombak samudera. Namun ingat sedari nenek moyang kita sudah diajari tentang warnawarni simbol perubahan alam semesta, kita semua sudah tahu makna simbol itu dan jangan sekali-kali dilawan, lebih baik kita tak melaut, bila terlanjur di laut segera menepi, pasti akan ada badai atau gelombang tinggi. Bukan warna-warni atribut simbol partai para munafikun. Lihat, kini mereka semakin sejahtera di bawah ketiak-ketiak tauke-tauke pemilik pukat, kapal besar dan maling-maling ikan dari negeri sebrang. mereka tak pernah merasakan gelegak gelombang, terjangan angin, sengatan panas-dingin.... Usir perahu pukat, perampok ikan dari garis cakrawala pantai kita!!"

Mulai saat itu bila terlihat perahu pukat, dari bibir pantai, tanpa komando ratusan perahu meluncur ke arahnya, kejar-kejaran bak kucing liar dan tikus yang tak kenal lelah menggerogoti lumbung ikan samudera Nusantara.

"Kita mengarungi gelegak warnawarni alam semesta yang menjatu di jiwa kita, meresap sampai tulang sumsum kita! Kita berpegang pada kearifanya sebab disitu kita cari nafkah sejati. Sekali lagi bukan pada atribur warna-warni partai munafikun yang datang sesaat membawa sembako, uang solar, sarung, spanduk, janji-janji berbunga-bunga kala mereka memungut suara kita. Setelah itu apa yang terjadi, lihat kini mereka saling cakaran-cakaran, saling menggogong, menggigit, bagai anjing-anjing buduk di tepi pantai kita  berebut bangkai ikan. Setali tiga uang aparat dan pejabat telah jadi kucing garong piaraan negeri seberang, mereka kenyang diberi makan ikan, tak mau mengendus apalagi menangkap tikus. Sedang tauke-tauke ongkang-ongkang kaki, pelesiran ke luar negeri! Kita...kita tetap!...tetap nelayan menerjang gelombang, angin!. Kita satu kan kata! Satu kata usir! usir! tak boleh lebih, ingat.. tak boleh lebih dari itu!!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline