Kabar Mengejutkan
Di penghujung tahun 2024, jagad pengadaan barang/jasa pemerintah kembali dikejutkan oleh kabar dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Salah satu perkara persekongkolan tender yang ditangani oleh instansi tersebut berhasil diputus sebelum cuti bersama natal dan tahun baru.
Melalui putusan perkara yang saya peroleh dari laman KPPU, Majelis Komisi memutus para terlapor melanggar ketentuan pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kali ini, salah satu terlapornya bukan orang sembarangan.
Di kalangan kami---Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (PPBJ)---namanya sangat dikenal. Ia adalah ketua dari asosiasi jabatan fungsional kami saat ini. Kompetensi dan pengalamannya sudah tidak diragukan. Tapi kompetensi dan pengalaman itu tidak cukup untuk mempertahankan argumennya ketika berperkara.
Pada tahun anggaran 2022, ia bersama beberapa rekan PPBJ lainnya dipercaya untuk menjadi Kelompok Kerja Pemilihan (Pokmil) Penyedia untuk pengadaan seperangkat peralatan laboratorium. Anggaran pengadaannya bersumber dari APBN dengan nilai yang cukup besar---Rp300 miliar. Tingginya nilai pengadaan tersebut diduga karena barang yang dibeli tergolong berteknologi tinggi dan produsennya berasal dari luar negeri. BRIN---yang saat itu baru saja mengalami penggabungan dari berbagai instansi---bermaksud untuk mendukung kinerja organisasi barunya dengan penyediaan alat-alat laboratorium yang canggih.
Terus terang, saya tidak memperhatikan dengan serius proses pemeriksaan dan persidangannya sejak awal. Yang saya tahu, ia dan beberapa rekan PPBJ lain yang saya kenal sedang berperkara di KPPU sejak awal 2024. Saya yakin, KPPU akan berhasil mengungkap kasus ini dengan baik sebagaimana saya yakin Pokmil juga tidak akan dinyatakan bersalah. Keyakinan itu didasarkan pada kredibilitas sang ketua asosiasi, bukan karena saya memahami kasusnya.
Perhatian saya mulai muncul ketika salah seorang Advisor Pengadaan mengungkapkan kekecewaannya melalui Whatsapp Group. Menurut ceritanya, ia baru saja menghadiri persidangan perkara a quo di KPPU sebagai seorang saksi ahli. Sayangnya, Majelis Komisi menolak untuk mendengarkan kesaksiannya. Di sana, ia merasa direndahkan. Reputasi baik yang ia bangun selama ini seperti tidak dihormati di hadapan Majelis Komisi. Barangkali, Majelis Komisi menerima asymmetric information tentang sang advisor.
Terlepas dari alasan Majelis Komisi menolak mendengar kesaksian sang advisor---setelah mendengar cerita itu---saya berusaha mencari tahu. Belakangan, saya baru benar-benar memahami konstruksi kasusnya setelah membaca putusan perkara tersebut. Ada beberapa bagian dari putusan yang saya sepakati, namun beberapa bagian lainnya---menurut saya---masih janggal.
Asymmetric Information dan Post Bidding
Majelis Komisi menilai Pokmil bersalah karena menggugurkan penawaran peserta tender dengan harga penawaran terendah. Harga penawarannya terpaut Rp5 miliar dengan harga penawaran pada urutan berikutnya. Pokmil menggugurkan penawaran dengan harga terendah tersebut dengan alasan dukungan resmi dari agen tunggal untuk yang bersangkutan telah dicabut.
Pencabutan dukungan resmi tersebut terjadi setelah Pokmil melakukan klarifikasi/pembuktian kepada agen tunggal. Sebenarnya, praktik ini lazim dilakukan dalam proses tender. Tujuannya adalah untuk memastikan kebenaran dan keabsahan surat dukungan kepada penerbitnya. Sayangnya, Pokmil bertindak selangkah lebih maju.
Pada saat klarifikasi/pembuktian tersebut, agen tunggal membenarkan bahwa telah menerbitkan surat dukungan untuk seluruh peserta tender, namun agen tunggal mengklaim harga penawaran terendah berada di bawah harga yang wajar. Oleh karena itu, agen tunggal menyatakan mencabut dukungan kepada peserta dengan harga penawaran terendah.