Seperti kebanyakan pasangan muda yang akan menikah, mempersiapkan hunian bagi keluarga adalah prioritas utama. Saya ada di salah satu kelompok pasangan muda itu.
Sebelum menikah, saya berusaha mempersiapkan rumah yang layak untuk ditinggali. Minimal untuk anak dan istri saya, selebihnya untuk orang tua/keluarga yang akan berkunjung dan menginap.
Diuntungkan dengan profesi sebagai PNS di salah satu Kementerian yang memiliki fasilitas rumah dinas, saya berusaha memanfaatkan keberuntungan tersebut.
Rumah dinas kami berada di daerah Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Sementara itu, kami berkantor di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Pada hari dan jam kerja, butuh waktu hampir 2 jam untuk menempuh perjalanan pergi dan pulang.
Dengan pertimbangan kecukupan stamina dan ketersediaan kendaraan dinas, saya memilih untuk tinggal di sana tanpa ragu. Meskipun, komplek rumah dinas itu terbilang kurang diminati. Beberapa alasan yang seringkali terdengar adalah karena masih 'minimnya' fasilitas umum dan fasilitas sosial yang mudah dijangkau. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk mulai tinggal di sana.
Rupanya, kalkulasi saya kurang matang. Stamina yang saya kira bisa mendukung panjangnya durasi tempuh sehari-hari, justru habis terkuras. Hampir setiap hari, kami berangkat selambat-lambatnya jam 5 pagi dan pulang jam 11 malam. Selepas jam kantor, saya masih menunggu istri pulang dari kuliahnya. Akibatnya, kami hampir tak pernah merasakan petang hari di rumah dinas itu. Bahkan, kami sering menginap di SPBU dalam perjalanan pulang, karena kemacetan sangat menguras energi.
Praktis, kami hanya punya waktu 5 jam di rumah. Itu pun hanya kami gunakan untuk beristirahat. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jika hal ini terus berlanjut ketika kami sudah memiliki anak. Akan sangat sedikit waktu yang kami miliki untuk bersama anak-anak di hari kerja. Lain cerita jika hanya saya yang bekerja. Masalahnya, saya dan istri bekerja di kantor yang sama.
Biaya transportasi yang didominasi oleh tiket tol pun menjadi 'besar pasak daripada tiang'. Sementara itu, kami harus memikirkan biaya persalinan dan rencana membeli rumah pribadi. Sebab, rumah dinas yang kami tempati tidak bisa dibeli. Kebijakan moratorium pengalihan hak rumah dinas bagi PNS, menghalangi kemungkinan itu.
Menyerah dengan situasi tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk pindah rumah setelah 4 bulan tinggal di Gunung Sindur. Kami memilih untuk menyewa sebuah rumah dengan waktu tempuh 15 menit dari kantor. Tentu hal tersebut bukan keputusan yang lebih efisien ketimbang menempati rumah dinas. Menurut kami, waktu bersama anak-anak lebih menjadi prioritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H